Translate

Thursday, November 21, 2013

Bisakah Kita Menilai Seseorang itu Nggak Bahagia dan Pilihan Hidupnya Salah?

Saya punya seorang teman, yang nikah sama perempuan pilihannya. Perempuan pilihannya tersebut kebetulan single parent berusia sangat muda. Saya nggak bermasalah dengan hal seperti itu sih. Semua orang punya masa lalu. Semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. Karena saya nggak pernah hamil diluar nikah bukan berarti saya lebih baik dari perempuan-perempuan yang pernah hamil di luar nikah. Maksud saya, siapapun nggak punya hak menghakimi pilihan hidup orang lain.

Tapi tahu sendiri lah, orang-orang. Mulai ngomong di belakang dan bahkan di depannya. Tentang betapa kasihan nasib teman saya. Tentang masa muda teman saya yang dirampas oleh perempuan beranak satu itu. Tentang seharusnya teman saya bisa dapat perempuan yang lebih baik. Dan saya kalau lagi pada bergosip tentang itu ya hanya ber-"oh", "hmm..", "ya mbok ben". Seingat saya, sampai dengan saya nulis ini, saya belum pernah beropini tentang kehidupan rumah tangga teman saya itu. Ini debut.

Suatu hari yang lain, saya berita lagi tentang sepak terjang rumah tangga teman saya tersebut. Menurut berita yang beredar, teman saya resign dari pekerjaannya, yang mana sebenarnya posisinya sudah sangat bagus di kantor tersebut. Alasannya, menurut si A yang cerita katanya dengar dari si B yang meripakan teman dekatnya si C yang mana adalah teman dekat teman saya tersebut, teman saya resign dengan alasan kantornya yang sekarang terlalu menyita waktu. Kerja dari pagi sampai malam, minggu pun sering masuk. Ngomong-ngomong soal pulang malam, saya malah jadi inget suami saya. Oke, abaikan kalimat terakhir dalam paragraf ini.

Orang-orang mulai bergunjing lagi. Katanya gila ajah sudah punya anak istri malah resign. Katanya teman saya nggak bisa mikir. Katanya teman saya cari mati. Situasi pergosipan semakin memanas. Berita terakhir yang saya dengar dari si A yang diberitahu si B yang dengar dari si C, istrinya yang meminta teman saya resign. Jadi istrinya kemudian yang disebut-sebut gila, nggak bisa mikir, dan cari mati.

Dan mulailah lagi pembicaraan berkisar soal tentang betapa kasihan nasib teman saya dapet perempuan seperti itu. Tentang masa muda teman saya yang dirampas oleh perempuan beranak satu itu. Tentang seharusnya teman saya bisa dapat perempuan yang lebih baik. Tentang betapa teman saya nggak bahagia dalam hidup perkawinannya.

"Ya kan, Rum?" Tanya salah seorang teman saya. "Hmmm.." Jawab saya.

Saya bukannya nggak suka gosip. Saya nggak munafik sih, saya suka bergosip juga. Tapi yang ini terlalu aneh untuk bahan gosip menurut standar saya. Ini bener-bener bukan bahan gosip. Menurut saya yang harus kita lakukan dalam menyikapi kalau ada yang punya hidup seperti teman saya tersebut, ya biarin aja dia menjalani hidupnya sih. Ngomongin ya boleh aja. Tapi kalau sampai pada kesimpulan betapa kasihan dan nggak bahagianya teman saya, saya nggak mau komentar. Ya gimana dong, saya bener-bener nggak tahu dia bahagia atau enggak. Kalau nggak bahagia pun juga dia sendiri kok yang memilih jalan hidupnya yang sekarang. Pasti dia punya alasan.

Sebenarnya, teman saya tersebut nggak terlalu dekat sama saya, tapi dekatnya sama suami saya. Dan fakta-fakta yang ada di gosip tersebut, semacam bahwa teman saya punya anak dan teman saya resign, di konfirmasi kebenarannya oleh suami saya. Tapi kalau tentang kebahagiaannya, suami saya nggak pernah ngomongin sih. Saya juga nggak pernah tanya. Soalnya yang saya peduliin kebahagiannya ya cuma saya dan suami saya. Saya lagi nggak peduli kalau si A si B si C dan teman saya itu nggak bahagia. Lagi cuek gitu sayah. Lagi sok cool.

Sampai suatu hari saya berkesempatan ketemu sama teman saya dan keluarga kecilnya. Ngobrol-ngobrol walau cuma sebentar. Semua kelihatan bahagia. Teman saya bahagia. Istrinya bahagia. Anaknya...mmm...entah deh. Saya nggak bisa mendeteksi seperti apa balita bahagia. Balita kan ya gitu semua, kalau nggak ketawa ya nangis --".

Bukannya temen saya dan istrinya senyum terus kaya orang sarap sih. Tapi pokoknya saya bisa ngerasain aura penuh cinta kalau lagi di deket mereka berdua. Kelihatan teman saya cinta sama istrinya. Dan istrinya cinta sama dia. Dia dan istrinya cinta sama anaknya. Anaknya...rrrr...saya nggak ngerti balita penuh cinta itu kaya gimana. Pokoknya kelihatan.

Jadi yang orang-orang bilang kasian dan nggak bahagia itu apa? Terus kenapa kasihan dapet perempuan ini? Kelihatannya teman saya bahagia tuh sama perempuan ini? Kalaupun bener nggak bahagia, lagi-lagi dia sendiri kan yang memilih jalannya? Semua manusia pengen bahagia. Pastinya temen saya memilih jalan hidup yang bikin dia bahagia. Kalaupun dia nggak terlihat bahagia, saya percaya kalau pilihan hidup yang lainnya bakalan lebih bikin dia nggak bahagia. Ayo deh, pernah punya anak di luar nikah nggak bikin orang jadi nggak bisa bahagia. Nikah sama perempuan yang udah punya anak juga nggak bikin seseorang kemudian harus nggak bahagia.

Saya tanya, apakah akhir-akhir ini teman saya tersebut ketemu si A si B si C si D si E? Katanya enggak. Ngobrol? Juga enggak. Sungguh deh...

Sudahlah...

Tuesday, November 12, 2013

Pengen Pulang

Baru sebulan lebih sedikit saya tinggal di Jakarta. Dan temen-temen terdekat saya sudah mulai muak dengan celotehan saya soal oh betapa saya kangen Jogja, betapa di Jakarta nggak ada yang jualan Ranee dan Rivera, betapa macetnya Jakarta, betapa panasnya Jakarta, betapa sumpeknya, betapa pahit dan judesnya orang-orang di jalanan Jakarta, dan lain-lain.

Saya tahu, memang bukan hal yang bijaksana ketika seorang pendatang seperti saya kemudian membanding-mbandingkan kota asal dengan kota yang saya datangi. Cuma bikin perbedaan yang memang selalu ada itu jadi terasa bertambah buruk. Dan jelas cuma membuat saya terlihat menjadi bertambah buruk. Pendatang penggerutu. Tapi saya bukan orang yang pandai menyembunyikan perasaan, walau demi kebaikan bersama sekalipun.

Dua hari yang lalu saya memimpikan sejenak terbang ke Jogja. Minta waktu untuk kumpul-kumpul lagi dengan orang tua dan teman-teman di Jogja. Sedikit berbelanja barang-barang kebutuhan yang di Jakarta susah banget di temui, atau di Jakarta mahalnya bikin gila.

Tapi ketika keinginan itu terwujud, saya malah kangen kepengen pulang. PULANG? Apakah saya mulai gila dan menyebut Jakarta RUMAH saya? Bukan Jakarta yang saya kangeni. Saya kangen suami saya. Sepanjang di Jakarta saya ngerecokin suami saya kalau saya pengen pulang ke Jogja. Dan sekarang saya di Jogja, rasanya ini bukan pulang.

Baru dua hari saya di sini, tapi saya sudah kepengen pulang. Saya kangen dia yang susah kalau disuruh sikat gigi sebelum tidur,. Saya kangen dia yang kalau jam 8 malem udah tidur. Saya kangen dia yang udah susah-susah saya masakin pagi-pagi malah nggak mau sarapan. Saya kangen dia yang suka gantungin baju-baju kotornya dan nggak mau baju kotornya dicuci. Saya kangen dia yang suka sembarangan nyabut carger HP saya. Saya kangen dia yang kalau pulang kerja jam 7 malem dan kemudian langsung tidur. Saya kangen dia yang suka ngerebut remote TV karena dia suka OVJ dan saya nggak.

Saya kangen.

Mendadak saya nggak pengen ketemu mbak Tami dan mbak Dhika lagi.
Nggak pengen ketemu Ndok, Titit, Adit, Upik, Tata, dan semua yang ada di sini.
Nggak semangat juga ketemu orang tua, mertua, dan nenek saya.
Saya cuma pengen pulang :(

Sunday, November 10, 2013

Sedang Resek

Pernah nggak situ keseeelll banget sama orang yang suka komentar? Pokoknya sembarang dikomentarin. Situ pake baju tertutup dibilang "sok alim". Pakai baju terbuka dibilang "murahan". Pake baju biasa dibilang "tumben". Rasanya pengen lepas baju secepatnya terus lagi ke arah si tukang komen sambil jejelin baju kita ke mulutnya?

Nah, tukang komen itu biasanya kita katain (atau kalau saya boleh bilang: kita komentarin) dengan sebutan: Resek!

Saya sendiri tergolong orang yang resek. Tapi resek saya nggak tertuju pada orang tertentu, tapi pada semua orang. Nggak lawan, nggak kawan, bahkan kucing tetangga juga nggak luput dari keresekan saya. Iya, saya resek emang sih. Yah, mungkin tertuju pada orang tertentu pada waktu tertentu. Kaya beberapa waktu yang lalu saya resek sama orang-orang yang resek sama orang-orang yang niruin Vicky. Tapi biasanya nggak lama trend resek saya segera berganti.

Ngomong-ngomong soal komentar, siapa sih diantara situ yang nggak pernah komentar? Ha!! Berarti situ juga resek! Nggak kok, suka komentar nggak selalu artinya resek. Komentar atau berpendapat jelas banget nggak bisa kita hindari. Wong ada kok yang namanya kebebasan berpendapat. Kalaupun kebebasan berpendapat yang ada ini kemudian nggak bebas lagi karena dibatasi oleh moral etika etc etc, ya tetep aja, siapa sih yang bisa mencegah kita punya komentar? Wong kita punya otak kok.

Mungkin pembatasan-pembatasan itu bikin kita nggak bisa menyuarakan pendapat. Tapi tetep aja kan kita punya pendapat? Kita punya komentar. Nah, kalau kita nggak menyuarakan pendapat kita secara membabibuta (kaya yang suka saya lakukan), ya kita nggak akan dibilang resek (iya, sekali lagi saya resek).

Adakalanya saya merasa sumpek sekali, dan butuh menyuarakan apa yang ada di benak saya. Dikala-kala begitulah saya mendadak menjadi orang paling resek dan menyebalkan yang pantas dijauhi. Kalau saya diam, sebenernya ya nggak apa-apa dan dunia menjadi damai. Tapi karena saya bener-bener resek pada suatu waktu, saya jadinya nggak bisa diam.

Saya kasih tahu satu lagi ciri-ciri ketika resek saya menyerang: Nggak cukup kalau hanya menyuarakan untuk diri sendiri. Jadi memang nggak melegakan ketika saya ngomyang sendiri tanpa ada yang mendengarkan, atau menuliskan komentar saya di diary bergembok yang kuncinya saya buang di kawah merapi. Keresekan saya butuh pendengar.

Makanya kemudian saya punya blog. Sayangnya, dengan semakin famousnya saya dan semakin banyaknya pembaca #prek, semakin banyak aja batasan yang ada dalam menyalurkan keresekan saya.
Jadi ketika resek saya kumat, biasanya saya mengatakannya pada seorang teman saya.

Yang barusan saya resek-i adalah: "aku risih banget deh liat kata "anu" diganti dengan kata "anu". Semacam nggak berkelasgitulhooooo".

Teman saya yang saya ajak resek: "ya mbok ben tooooo"

Saya: "Heh! Saya ini lagi resek! Dengerin aja sih!"

Teman saya: "Okayyyyy..."

Dan kemudian saya lega. Dan saya kembali menjadi istri imut manis baik hati dan ceria seperti sedia kala, untuk sementara waktu.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...