Translate

Wednesday, September 18, 2013

Saya lagi begah sama tim orang-orang yang marah-marah ketika ada yang bahas soal Vicky

Lha, padahal di post yang ono saya bilang itu terakhir ngomongin Vicky? Karena yang  mau saya bahas bukan Vicky, tapi kamu, kamu, kamu dan kamu yang sensi berlebihan sama orang-orang yang ngomongin Vicky.

Karena salah satu tulisan saya di blog sebelah, saya menerima banyak email (dan beberapa mention) yang intinya sih mereka nggak suka sama cara bercandaan saya yang kampungan. Permasalahan Vicky itu bukan selayaknya dijadikan bercandaan katanya. Okelah, saya mengaku salah dan kemudian meminta maaf secara pribadi kepada orang-orang yang memprotes saya, dan juga meminta maaf melalui postingan ini. Meminta maaf kepada Vicky? Nggak, nggak. Bukannya nggak mau, tapi saya nggak kenal soalnya. Mau tanya ke orang-orang yang protes ke saya juga saya yakin mereka nggak kenal.

Selesai?

Enggak dong. Masyarakat modern gitu loh. Kalau nggak memperpanjang sensasi kurang modern namanya. Bahkan sampai sesaat sebelum saya menuliskan ini pun, saya masih menerima hujatan via email berkaitan dengan penggunaan bahasa saya pada postingan review lipstik yang ini (yang baru sekalinya dan terakhir itu saya bercandaan begitu). Yaelah embak-embak, itu postingan tanggal berapa ya? Walau situ baru aja bacanya, bukan berarti saya nulisnya juga baru aja kan? Terus ya, saya juga sudah minta maaf. Seandainya pun posting permintaan maaf saya nggak terbaca oleh situ, situ masih bahas hal ini sekarang juga udah basi kaleuuussss.

Saat saya nerima email terakhir berkaitan dengan protes terhadap bahasa saya, sedang ada seorang teman saya. Dia bilang, "ya udah sih Rum, hapus aja postingan tersebut." APA? Ogah lah. Menurut saya nggak sepenting itu juga sampai saya harus hapus postingan. Terus teman saya yang lain tanya: "Jadi postingan kamu lebih penting?" Ya iya lah. Seenggaknya lebih penting dari orang-orang yang ngaku begah sama sesuatu tapi malah bahas berkali-kali.

Iya lho, kalau saya perhatikan, sebenernya orang-orang yang bercandaan soal Vicky itu cuma pakai bahasanya sekali dua kali. Yang bikin bahasa itu seolah-olah muncul terus ada dua. Yang pertama karena yang bercanda sesekali itu buanyak. Dan yang kedua karena orang-orang yang memprotes bercandaan itu juga banyak, bahkan tipe kedua ini saya perhatikan lebih banyak ngomong juga.

Sekarang gini deh, saya juga pernah eneg banget sama suatu bahasa, yaitu: Cetar Membahana. Semua orang pakai. Setiap blogwalking juga selaluuu dipakai. Kalau Syahrini yang ngomong sih imut ya kesannya. Tapi ketika hampir setiap jam saya lihat dan dengar kata itu ya berasa enggak imut lagi. Reaksi saya? Ya saya nggak memakai kata-kata itu toh. Beres kan? Kalau ada yang twitternya cetar-cetar terus ya saya mutte. Kalau ada yang di blognya cetar-cetar terus ya nggak saya baca postnya.

Karena kalau saya terus sibuk: : "kesel deh sama yang pakai cetar membahana. Mengejek itu bla bla bla." Bukannya berarti saya masuk ke golongan orang-orang yang pakai kata cetar membahana ketika itu? Terlepas dari apapun kalimatnya.

Begitu juga dengan bahasa Vicky ini. Saat-saat ini, yang kelihatan di TL saya cuma: "Plis deh, udahan yuk Vicky-vickynya." dan sejenisnya yang diucapkan berulang kali. Saya malah nggak lagi melihat orang yang pakai kata "labil ekonomi", yang mana itu berarti tim orang-orang yang marah-marah ketika ada yang bahas soal Vicky bahkan lebih banyak daripada tim yang bercandaan soal Vicky. Ketika tim yang bercandaan soal Vicky udah mingkem tim orang-orang yang marah-marah ketika ada yang bahas soal Vicky masih terus mangap.

Dan saya jadi begah.

Karena dalam proses mereka memprotes bullying terhadap Vicky, mereka nggak jarang menggunakan bahasa yang kasar dan merendahkan, yang mana artinya mereka juga sedang melakukan bullying terhadap tim orang-orang yang bercandaan ala Vicky.

Terus satu lagi nih, bersamaan dengan merebaknya kasus Vicky, ada kasus serupa juga, yaitu kasus tabraannya Dul anaknya Ahmad Dhani. Saya sempet lihat TL beberapa orang yang memprotes soal bercandaan ala Vicky. Ternyata mereka itu kena arus juga memaki-maki Dul dan Ahmad Dhani di TL. Lalu beberapa hari kemudian, mereka protes kemana-mana soal bercandaan ala Vicky. Soal Bullying. Jadi, sebenernya pada tahu nggak sih arti kata bullying?

Kadang saya berpikir, apa karena semua orang berlomba-lomba pengen jadi beda gitu ya? Pengen anti-mainstream. Ketika bercandaan soal Vicky terendus sebagai sesuatu yang bakalan jadi mainstream banget, mereka beramai-ramai menjadi berbeda. Yah...anti mainstream kok rame-rame --". Saya cuma mau bilang sih, jadi anti mainstream itu karena saking banyaknya yang pengen udah mainstream banget sekarang.

Tapi saya juga tahu kok, ada beberapa orang yang beneran tahu arti bullying, yang nggak suka terhadap merebaknya bercandaan soal Vicky. Dan mereka memprotes dengan elegan. Dan mereka juga nggak melakukan bullying lain di twitter. Tapi biasanya orang seperti ini malah protesnya nggak membabi buta. Dan cenderung diem aja karena nggak mau menambah-nambahi pembahasan soal yang mereka nggak suka itu di socmed, seperti ketika saya begah sama kata Cetar Membahana.

Apakah setelah saya nulis ini bakalan ada tim orang-orang yang sebel sama orang yang begah sama tim orang-orang yang marah-marah ketika ada yang bahas soal Vicky?

Saturday, September 14, 2013

Cukup Sudah Pembahasan Mengenai Bahasasisasi

Kalau kalian bisa sampai kepada blog yang nggak begitu tenar ini, berarti kalian adalah pengguna Internet kelas berat. Soalnya nggak mungkin kalau cuma sekilas pakai internet bisa nyempil ke blog galau semacam ini. Nah, kalau kalian adalah pengguna internet kelas berat, nggak mungkin kalau nggak tau yang namanya Vicky Prasetyo, eks tunangannya Zaskia Gothik.

Eniwe, jauh sebelum peristiwa ini pacar saya udah nge-fans aja sama Zaskia Gothik --".


Semalam di TL saya, muncul twit dari @PrincessChizty:
"Indonesian people are funny. Vicky-nya dihujat, diejek, dan di-bully. Eh bahasanya ditiru. Jadinya benci atau ngefans nih?"
(Tant, nyatut nama ya, Tant. Kalau nggak boleh ntar saya hapus deh nama panjenengan :D)

Saya membalas:
"Kalau saya sih nge-fans..."

Terlepas dari persoalan tipu-tipu dan ke-playboy-annya, menurut saya sosok Vicky ini menarik. Bukan, bukan karena wajahnya yang konon katanya mirip Brad Pitt. Tapi karena ke-pede-annya. Nggak cuma sekali ini seluruh jamaah twitteriah mendapatkan public enemy untuk dicaci, banyak kok kasus seperti itu. Ada yang nyeleneh dikit, langsung seluruh khayalak ramai-ramai membahas. Yang saya yakin nggak semuanya mengejek, tapi jadi terkesan mengejek. Termasuk saya.

Lagi-lagi, terlepas dari segala kasus yang menimpa pribadi Vicky, saya lumayan tertarik sama ke-pede-annya dalam berbicara. Nggak usah sok bijak-bijak ngece lah ya, jelas kita semua tahu kata "statitusisasi" dan "kosabahasisasi", serta peletakan kata-perkata dalam rangkaian kalimat yang diucapkan Vicky, secara struktur bahasa adalah salah. Saya nggak ngerti juga, mungkin dia lebih lancar berbahasa daerah atau berbahasa asing? Saya juga punya kok teman orang Indonesia setengah bule, yang bahasa sehari-hari di rumahnya adalah bahasa Inggris. Dia dulu suka agak-agak kagok gitu kalau ngobrol pakai bahasa Indonesia gaul. Sekarang sih dia udah fasih misuh-misuh pakai bahasa Jawa segala --".

Begitupun dengan saya. Bahasa yang sangat saya kuasai adalah bahasa Indonesia. Sebagai orang jawa, saya ngerti bahasa Jawa juga, tapi nggak mendalam. Saya bisa melakukan percakapan dengan bahasa jawa krama inggil, asal nggak terlalu panjang dan topiknya nggak terlalu berat. Terus bahasa asing yang saya ngerti juga cuma bahasa Inggris. Itupun ya sama kaya bahasa Jawa Krama Inggil, nggak fasih-fasih banget.

Untuk bahasa Inggris ini, karena saya nggak fasih-fasih banget, jadinya nggak pernah saya gunakan dalam percakapan. Apalagi saya ini tipe yang nggak suka dengan bahasa campur-campur ala Cincya Laura. Menurut saya, bahasa Inggris ya oke lah, saya oke-oke saja mendengar atau membaca perkataan atau artikel dalam bahasa Inggris. Tapi berbahasa Inggris lah dengan baik. Saya sering mendapati artis-artis jaman sekarang kalau diinterview suka menyelipkan beberapa kalimat berbahasa inggris, yang ya, sebenernya kurang pas dan terkesan dipaksakan. Yang saya herannya kok artis terkait nggak dibahas ramai-ramai di twitter kaya Vicky dan Jajang, padahal sama anehnya. Saya nggak suka sih, yang campur-campur begitu.

Saya sendiri hanya menggunakan bahasa Inggris hanya dalam bentuk tulisan, itupun untuk urusan pekerjaan bukan blogging-blogging alay semacam ini. Kalau untuk ngomong, sungguh saya nggak pede. Padahal katanya, berbahasa itu yang penting kebiasaan. Kalau nggak dilatih dan dibiasakan ya nggak mungkin bisa. Tapi sungguh saya nggak pede.

Orang-orang seperti Vicky ini saya kagumi ke-pede-annya. Saya yakin kok, pada akhirnya Vicky akan belajar membenahi vocabulary dan grammar-nya pelan-pelan, belajar dari kritik yang dia dapatkan di media sosial tentunya (semoga). Tapi kan yang penting, walau nggak lancar bahasanya, dia berani mempraktekan dulu kan? Karena sekali lagi, bahasa itu adalah soal latihan dan kebiasaan.

Saking seringnya saya melihat dan mendengar kata "kontroversi hati", "konspirasi kemakmuran", "statitusisasi", dan "kebagusan reputasi" akhir-akhir ini, tanpa sadar kata-kata itu kaya nancep aja dipikiran saya. Jadi inget Syahrini dengan "cetar membahana"-nya juga nggak sih? Kata-kata itu juga sempet seolah nancep di kepala. Bahkan menurut saya, "cetar membahana" itu digunakan dengan lebih berlebihan dibandingkan dengan "faktualisasi". Saya aja sampai eneg ngeliat setiap blog walking atau twitteran pasti nemu kata itu. Jangka waktunya lama pula.

Ketika saya menggunakan kata-kata "kontroversi hati", sebenernya saya sudah nggak memikirkan Vicky sebagai penggagas kata tersebut. Apalagi mikirin kasus-kasus dan berbagai kontroversi hati yang beneran menimpa dia! Sungguh. Ya cuma lucu aja. Kata-kata tersebut biasanya jarang ditemui di kehidupan sehari-hari, dan mendadak tersebar dimana-mana. Ketika saya menggunakan kata "labil ekonomi", bukan maksud saya melakukan bully atau ejekan terhadap Vicky. Bahkan saya seringnya nggak mikirin Vicky ketika mengucapkannya.

Kalau penggunaan kata-kata tersebut dianggap alay dan norak, saya sih bodo aja. Alay dan norak itu kan masalah selera, dan nggak semua orang punya selera yang sama. Tapi kalau penggunaan kata-kata tersebut dianggap sebagai ekspresi bullying, ya sudah, saya mengaku salah, meminta maaf, dan saya akan berhenti pakai.

Dan artikel ini adalah terakhir kali saya menuliskan mengenai bahasasisasi.

Friday, September 13, 2013

Ada Rasa Yang Berbeda

Ada hal yang berbeda ketika membawa calon pasangan hidup kita pulang ke rumah, masuk ke kehidupan kita.

Sejak mulai kuliah s1, tepatnya tahun 2003, saya merantau ke Jogja, misah sama orang tua saya. Ngekos sendirian. Walau Solo-Jogja juga cuma satu setengah jam perjalanan, tapi tetep aja berbeda rasanya ketika tinggal sendiri tanpa bapak dan ibu. Termasuk bapak dan ibu saya tentu saja nggak bisa lagi mengenal dengan lebih dalam semua teman-teman atau orang yang dekat dengan saya.

Dulu waktu saya masih tinggal di Solo, hampir semua teman pernah bertandang ke rumah orang tua saya. Soalnya rumah saya memang tergolong yang enak buat nongkrong. Jadi bapak ibu saya kenal dengan hampir semua teman-teman saya. Beberapa kali saya punya pacar, tapi ya karena saya masih kecil waktu itu, bapak ibu memperlakukan pacar-pacar saya seperti layaknya teman biasa aja.

Sebelum dengan calon suami saya yang sekarang, sayapun beberapa kali punya pacar. Dua yang terakhir sebelum calon suami saya, sudah saya ajak pulang ke Solo untuk berkenalan dengan bapak dan ibu saya. Tapi ya cuma mampir sekilas, nggak berkenalan secara mendalam. Soalnya mampir ke rumah pun cuma sejam-dua jam.

Dengan calon suami saya yang sekarang pun, bapak ibu saya sudah kenal lamaaaa sekali. Soalnya saya memang sudah temenan 10 tahun sama calon suami saya. Dan dia adalah sahabat saya yang paling dekat selama di jogja, sehingga beberapa kali ikut saya pulang ke Solo, bahkan pernah nginep juga di rumah Solo. Tapi ya bapak dan ibu saya tahunya itu teman.

Ketika tiga tahun yang lalu kami memutuskan untuk pacaran, saya nggak langsung kabar-kabar ke bapak ibu. Soalnya jujur ketika itu saya juga belum tahu arah dan tujuan hubungan kami. Baru pada bulan Juli tahun lalu, saya membawa dia ke rumah lagi, kali itu sebagai pacar.

Tentunya rasanya berbeda ketika mengajak dia pulang ke rumah sebagai laki-laki pilihan saya.

Saya dan dia tentunya selama 10 tahun sudah sangat saling mengenal, dan boleh dibilang nggak perlu lagi berproses agar bisa nyaman satu sama lain. Masa itu sudah lewat lah. Tapi dia dan keluarga saya tentunya harus berproses agar saling merasa nyaman. Selama masa pertunangan kami, dia jadi sering bertandang ke rumah Solo, mengakrabkan diri tidak hanya dengan bapak ibu saya, tapi juga dengan keluarga besar dan segala aspek kehidupan masa kecil saya.

Ada rasa yang berbeda ketika mengajak dia melihat kamar masa kecil saya,
ketika mengajak dia menyusuri jalan-jalan di desa saya,
memperlihatkan bekas pohon talok yang dulu sering saya panjat,
menunjukan bangunan SMA saya,
rumah mantan guru SD saya,
makan soto langganan bapak saya.

Kebetulan bapak dan ibu saya dua-duanya bekerja. Jadi waktu kecil, saya harus dititipkan. Orang tua saya memilih menggaji secara bergantian tetangga sekitar untuk menemani saya selama mereka bekerja, dibandingkan membayar Nani yang nggak dikenal. Jadi, saya dan ibu-ibu tetangga sekitar punya semacam hubungan yang sangat dekat. Kalau saya pulang, dan mampir ke salah satu rumah mereka, pasti saya diciumi dan dipeluk, "mbak Arum sudah besar sekarang." Nggak jarang saya diinterogasi, "calonnya orang mana? Kerja dimana? Baik nggak sama mbak Arum?" Dan pertanyaan-pertanyaan lain, yang apabila diucapkan oleh orang-orang lain akan membuat saya marah, tapi ketika mereka yang mengucapkan saya hanya merasa hangat.

Ada rasa yang berbeda ketika mengenalkan dia kepada mak Tik, mak Tri, mak Yem, mak Roh, mbak Parto, lek Min..

Walau keluarga dari Bapak saya Katolik semua, tapi ketika lebaran, ada adat untuk berkumpul di rumah almarhumah nenek saya. Bapak-ibu saya sekeluarga, bude-pakde-om-tante sekeluarga yang jumlahnya besar. Kami punya tradisi untuk nyekar dan bersilaturahmi kepada tetangga-tetangga almarhum kakek dan nenek.

Ada rasa yang berbeda ketika melihatnya berbincang akrab dengan pakde saya,
ikut bersih-bersih rumah bersama saudara-saudara laki-laki saya,
mencium pipi bude saya,
dan bercanda-canda dengan sepupu-sepupu saya.

Saya dan dia punya prinsip yang sama soal pertemanan. Selama mereka nggak merugikan atau membawa dampak buruk, sebisa mungkin kita selalu menjaga silaturahmi dan hubungan baik. Demikian juga dengan mantan-mantan kami. Hampir semua punya hubungan baik dengan kami berdua, sebagai teman.

Ada seorang mantan saya yang merupakan teman masa kecil saya. Saya dan mantan saya tersebut sudah dekat semenjak balita. Jadi bahkan ketika putuspun, saya masih semacam mempunyai ikatan kuat dengan mantan saya tersebut. Masih dekat, masih main bareng, dan saling cerita. Bahkan sampai saat ini. Ketika terakhir kali dia pulang, saya mengajak dia ke rumah mantan saya itu.

Ada rasa yang berbeda ketika pertemuan itu semacam menegaskan: "ini lho teman masa kecil saya yang saya sayangi, yang sampai kinipun saya masih selalu mencari dia pada saat hidup menyesakkan."
Ada rasa yang berbeda ketika melihat mereka berdua berjabat tangan dan saling melempar senyum hangat,
ketika yang satu mengucap selamat dan yang satu berterima kasih.

Ada rasa yang berbeda ketika saya berbaring dengan mata nyalang di tempat tidur masa kecil saya malam ini,
dan menyadari kalau akhir bulan ini saya adalah Ny. Ig. Dani Ardianto :').

Sunday, September 1, 2013

Kisah Tas Pink Buluk, Dompet murahan, Kalung Mainan, Kondom Rasa Pisang, dan Hal-hal Tidak Penting Lainnya



Packing?

Udah nggak terhitung berapa kali aja dalam hidup saya. Karena saya hobi traveling, karena pekerjaan saya terkadang mengharuskan saya kemana-mana, karena saya juga beberapa kali pindahan. Yang pertama pindah dari Solo ke Jogja untuk kuliah. Tahun kedua saya pindah kos ke kos yang nggak ada jam malam dan nggak ada aturan tamu dilarang masuk kamarnya karena saya mulai punya pacar >'<. Tahun ketiga saya pindah kos ke kos yang ber-wifi karena saya mulai doyan ngeblog. Terus sekitaran tahun lalu saya beli rumah di Jogja, jadi harus pindah dari kos ke rumah baru.  

Initinya sih masukin barang-barang ke dos, angkat dos ke tempat yang baru, keluarin barang-barang dari dos, dan tata di tempat yang baru. Sebelumnya saya nggak pernah ngerasa berat untuk packing. Malahan packing begini jadi ajang saya bersih-bersih. Barang yang nggak diperlukan lagi saya buang atau saya kasihkan kalau ada orang yang lagi butuh. 

Saat packing mau pindahan ke Jakarta ini, agak-agak susah. Saya bener-bener pusing milih mana barang yang saya tinggal, dan mana yang saya bawa. Termasuk mana yang saya buang. Akhirnya sih saya milih bawa semua-muanya. Semua saya masukin dos dan kirim ke Jakarta.

Semua termasuk dompet dagadu murahan yang beli bareng sepupu saya, yang ketika itu saya mengalami hari yang menyenangkan di Malioboro. 
Tas pink dari mantan saya, yang udah buluk dan nggak mungkin saya pakai lagi, bahkan kalaupun masih bagus juga saya males pakai tas warna pink. 
Jeans yang lututnya robek karena saya tabrakan motor pas saya mau dateng ke ulang tahun temen saya. 
Kajal yang smudge abis kalau dipakai, oleh-oleh ses Sekar dari Arab.
Syal rajut warna biru yang jarang saya pakai karena saya memang nggak demen pakai syal, buatan tangan ses Tintas.
Kalung aneh kaya mainan murahan warna-warni hasil beli di Bali ketika saya ke Bali bareng temen-temen se-geng.
Skripsi yang saya tahu nggak bakal saya pakai lagi.
Rak tempat saya menyimpan kosmetik pertama saya, walau di Jakarta saya tahu pasti ada rak semacam itu juga.
Kaos buluk dan agak kekecilan yang saya beli di Bali kembaran sama sahabat saya.
Bandana pink yang saya rampas paksa dari salah seorang teman saya.
Kondom rasa pisang yang saya beli dari apotik dekat kos karena saya dapet tantangan saat main "truth or dare" :p
Botol-botol, kertas-kertas, rekaman-rekaman... dan lain-lain.

Semua itu saya packing, saya nggak mampu untuk membuangnya atau meninggalkannya. Saya mau barang-barang itu ada terus bersama saya. Meski kemungkinan besar nggak akan saya pakai juga, meski bawanya susah dan pakai diomel-omelin karena bawa begitu banyak barang yang nggak penting.

Ada kejadian lucu saat mas pacar bantu saya packing. Mas Pacar menemukan tas warna emas, bagus dan mahal, yang saya tinggal begitu saja di Jogja, sementara tas buluk warna pink yang nggak mungkin saya pakai lagi malah saya bawa. 

Mas Pacar tanya: "Ini nggak dibawa?"
Saya: "Nggak udah lah. Menuh-menuhin aja".
Mas Pacar: *memandang nanar tumpukan tas buluk, dompet usang, jeans robek, rak, kondom, dan lain-lain*

Yang saya sadari, sesaat sebelum saya menuliskan ini, makanya kemudian saya memutuskan untuk menulis, adalah: saya nggak berat meninggalkan tas emas yang mahal itu, karena saya nggak punya kenangan apapun terhadap tas tersebut. Tapi saya membawa kondom rasa pisang karena bersama benda itu saya mengalami kejadian yang menyenangkan.

Mmmm...saya harap teman-teman bacanya dari atas. Karena kalimat terakhir pada paragraph sebelum ini kalau di baca tanpa membaca keseluruhan isi cerita akan terdengar anu.

Kenangan memang bikin kita berat meninggalkan sesuatu atau seseorang. Tapi saya selalu menghibur diri, bahwa saya akan membuat kenangan baru yang lebih indah di tempat yang baru kelak, dan bahwa saya nggak akan kehilangan orang-orang di tempat yang lama karena kenangan-kenangan akan mereka akan selalu ada di hati.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...