Translate

Saturday, October 20, 2012

Mungkin Inilah Momen Patah Hati Paling Tidak Ekspresif yang Saya Alami Dalam Hidup Saya

Ternyata saya juga punya kisah cinta yang miris.

Mmmm...kisah cinta bagi saya mungkin, tapi bukan bagi dia. Mendadak saja saya teringat. Dan kepingin bercerita.

Kejadiannya sudah lama sekali. Jaman dulu waktu saya masih belasan tahun. Saya juga sudah lupa, karena terkubur kisah-kisah ~baik cinta maupun tidak cinta~ yang lain. Tapi nggak tau kenapa mendadak saya teringat ditengah-tengah kesibukan saya membuat laporan keuangan. Mungkin mukanya mirip jurnal pembantu piutang.

Saya kurang suka memberi inisial huruf kepada seseorang. Tapi untuk menuliskan namanya pun rasanya saya malu. Jadi marilah kita sebut dia hanya dengan kata ganti orang ketiga.

Dia mungkin cinta pertama saya. Usia saya dengan dia terpaut lumayan riskan. Ada kali ya lima tahun? Jadi ketika saya masih kecil, dia terasa sudah sangat dewasa. Tapi semakin saya bertumbuh besar, jarak lima tahun terasa semakin menyempit.

~ Begini, cowok berusia 20 tahun pasti gengsi dong, kalau ngecengin ABG 15 tahun? Tapi cowok 27 tahun nggak akan merasa bermasalah ketika mengencani cewek berusia 22 tahun, kan?. ~

Waktu kecil, saya diam-diam naksir dia. Nggak serius. Ya taulaahh..cinta-cintaan anak kecil. Bukan cinta monyet juga sih. Lebih ke semacam cita-cita: "kalau besok udah gede aku mau punya pacar kayak dia". Dia nggak ganteng sebenarnya, tapi jenaka. Sewaktu saya kecil, rasanya dia ganteng sekali. Tapi ya saat itu dia nggak mungkin menoleh ke arah bayi seperti saya.

Sampai akhirnya saya remaja, saya mulai bisa masuk dalam satu lingkup pergaulan yang sama dengannya. Terus saya deketin gitu? Enggak :p. Saya malu. Alih-alih mendekatinya, saya malah dekat dengan orang lain yang saat itu saya pandang paling mirip dengannya, yang kebetulan juga sedang mendekati saya *ruwet deh pemilihan kata saya*. Yang lebih terjangkau. Dan akhirnya saya pacaranlah dengan dupe-nya dia. Dia KW rrrr...dua?

Tapi ini bukan kisah tentang pengalihan cinta kok. Waktu pacaran, saya bener-bener suka dengan pacar saya. Saya menikmati saat-saat bersama pacar saya. Tapi saya masih menyimpan kekaguman untuknya. Dalam hati saja tentunya.

Dan ditengah masa-masa saya pacaran dengan cinta monyet saya yang mirip dia, dia nembak saya. Caile...bahasanya nembak :D. Iya deh, nembak aja. Toh saat itu saya masih ABG. Jadi penggunaan bahasa-bahasa ABG nggak ditabukan :D.

Saya?

Kelimpungan bukan buatan. Tapi saya memang orang paling nggak ekspresif sedunia. Saya cuma ber-ohh.. dan ahh.. Ya lagian mau bagaimana lagi? Toh saya punya pacar, dan masa pacaran saya sedang unyu-unyunya.

Tapi kejadian itu cukup membuat saya GeeR dan nggak bisa tidur semalaman.

Keesokan harinya, saya berniat untuk bercerita tentang hal ini kepada teman dekat saya. Biasa ini, ABG. Curhat gitu istilahnya. Tapi saya dikejutkan oleh sesuatu. Sebelum saya bercerita apapun, teman saya tersebut nyerocos panjang lebar:

Bahwa kemarin dia ke rumah teman saya itu ~ yang berarti sesaat setelah dia pulang dari rumah saya ~. Dia menceritakan semuanya kepada teman saya itu, bahwa dia nembak saya. Bahwa dia menyesali kebodohannya sudah nembak saya yang sudah punya pacar ini, apalagi melihat reaksi saya yang cuma cengar-cengir nggak jelas. Dan diakhiri dengan....dia nembak teman saya. Ehem...teman saya nggak menerima tentu saja.

Jadi dia menyesal? Ohh...

Jadi hari itu adalah hari nembak cewek sedunia? Semua cewek yang ditemui wajib ditembak? Ohh...

Tetootttt!! Alarm pertama yang mengingatkan saya untuk nggak GeeR berlebihan.

Teman saya lebih pintar dari saya. Nggak ada cerita teman saya galau semalaman, karena teman saya tahu kalau dia sedang menghadapi laki-laki yang entah sedang bingun atau buaya namanya. Jadi cuma saya yang galau nggak penting. Aduhh... Untung saya belum cerita kepada siapa-siapa XD.

~ Kalau mas Pacar menyebut laki-laki seperti itu: Bobi. Boyo Bingung :))) ~

Saya mencoba melupakan. Tapi jujur saya masih galau. Walau tahu saya sasaran buaya, tapi tetap saja kejadian itu membekas. Ya maklum lah ya, udah naksir sejak balita.

Kehidupan saya yang membosankan bersama pacar-pacar yang datang silih berganti yang juga membosankan terus berjalan.  Saya kuliah, pindah ke Jogja. Beda kota dari dia. Sibuk. Mengejar IP. Kerja Part time. Sok-sokan berorganisasi kemahasiswaan. Teman baru. Hobi baru. Aktivitas baru. Pacar baru. Nongkrong-nongrong. Lupa.. Atau tepatnya mencoba lupa.

Sampai suatu ketika, saya lupa tepatnya oleh kejadian apa, dia muncul lagi. Dan saat itu saya nggak punya pacar. Saya berbunga-bunga lagi. Teringat perasaan yang dulu-dulu. Lalu kami dekat. Saya menikmati momen melayang-ke-langit-ketujuh waktu itu. Kedekatan kami kali itu berbeda, terasa lebih istimewa.

Tapi kemudian pada suatu waktu dia menghilang tanpa kabar.

Lewat beberapa hari, saya memberanikan diri menyapa, "hei..kenapa kamu nggak berkabar?"

Nggak disangka dia membalas: "Nanti aku jelaskan semuanya".

Sejak itu saya melewati hari dengan galau lagi. Penjelasan yang saya tunggu nggak pernah datang.

Sampai pada beberapa hari kemudian, saat saya duduk di bangku Gereja pada hari minggu biasa, tibalah pada pengumuman pernikahan Gereja. Namanya disebut. Ternyata oh ternyata...

Saya teringat alarm pertama saya waktu masih ABG. Dan inilah alarm kedua saya untuk nggak terlalu serius menanggapi seseorang, bila semuanya belum jelas. Bila perasaan belum terungkapkan.

Ya sudah lah...

Saya patah hati, tapi bersikap biasa saja. Alarm kedua sudah berbunyi, waktunya saya menyembunyikan perasaan. Jangan berlebihan mengumbar segala hal yang belum pasti.

Saat hari pernikahannya pun saya datang. Mencium pipinya mengucapkan selamat dan ikut berbahagia seperti teman-teman yang lainnya. Mungkin inilah momen patah hati paling tidak ekspresif yang saya alami dalam hidup saya.

Memandanginya di pelaminan, dan berkata pada diri sendiri: "sudahlah, inilah akhir cinta balita saya. Waktunya saya mencari sosok yang lain".

Dan begitulah semua berlalu.

Saya dengan pacar-pacar saya yang silih berganti. Dia dengan keluarga kecilnya, istri dan anak-anak yang bermunculan. Terkadang kami masih saling bertukar salam melalui media sosial, walau sangat jarang. Saya masih mengagumi, tapi sudah nggak akan terjerat.

Nggak ada tangis-tangisan. Nggak ada patah hati berlebihan. Yang ada cuma senyum datar. Perasaan saya kepadanya mungkin nggak tersampaikan dan nggak diketahui siapapun. Tapi saya nggak pernah menyesal, karena kalau tersampaikan mungkin malah akan memalukan XD.

Sekarang rasanya saya ingin kembali bertukar kabar. Dan mengucapkan kepadanya: "hei...aku akan menikah tahun depan. Datang, ya. Beri selamat dan cium pipiku seperti yang kulakukan waktu hari pernikahanmu dulu".

4 comments:

  1. Aha ha ha... lucu bener kalau ngasi sebutan.. Bobi- Boyo bingung? :D :D :D
    *ngakak guling2
    wah syukur Jeng Arum ndak jadi sama dia, orangnya koq kayaknya kelakuannya nda jelas gitu, biarlah itu jadi cinta masa 'balita' saja :D
    Salut Jeng Arum pinter bener menyembunyikan perasaan :) *ngga kayak saya he he...


    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya sih orangnya jelas, jeng Deasy. Akunya aja yang terlalu geer gitu :D
      Aku nggak pandai menyembunyikan perasaan kok. Aku tipe yang meledak2 apalagi kalau lagi marah. Ini lagi berusaha mengendalikan gitu sih ^^

      Delete
  2. rasanya pasti nyesek banget didalem sini *tunjuk hati*
    aku juga mbak, ditinggal mantan nikah.. jarak umur 10 tahun.. :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak tuh, pon. Nggak yang gimana2 banget. Aku juga heran. Cuma malu aja rasanya, udah berharap yang enggak2 ternyata cuma geer. Makanya sejak saat itu aku gag pernah "nganggep" kalau ada org PDKT. Tak "anggep" cuma kalau dia udh ngomong. Selama belum ngomong ya takanggep temen biasa aja :D

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...