Translate

Wednesday, December 11, 2013

Pelampiasan

Blog saya yang ini bener-bener kayak diary. Bukan karena saya menuliskan apa-apa yang saya alami atau rasakan sebenarnya, tapi karena isi hati saya tercermin melalui cara menulis dan gaya bahasa yang saya pakai.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, saya nggak benar-benar menuangkan pemikiran saya di sini. Ya, saya memang meluapkan rasa sayang, sedih, senang, bahkan marah di sini. Semua terlihat melalui bahasa yang saya gunakan. Tapi saya nggak benar-benar menuliskan apa yang membuat saya marah, sedih, senang, dan sebagainya.

Misalnya, pada situasi normal, saya nggak akan marah atau membalas perkataan komen kejam di blog saya. Jujur saja, dari awal saya bikin blog-pun sudah ada lho komen kejam-komen kejam. Jadi saya sudah semacam "terbiasa" mendengar komen kejam. Pun di kehidupan nyata saya juga membiasakan diri untuk mendengar tidak hanya yang baik tentang diri saya.

Cuma memang masalah ketepatan waktu saja. Komen kejam yang saya komentari tersebut muncul pada saat saya berada pada situasi yang sulit. Permasalahan pribadi yang sebenarnya nggak berhubungan dengan dia atau mereka yang berkomentar kejam di blog ini. Sementara komen kejam yang lainnya muncul pada saat hati saya tidak rusuh, sehingga saya bisa menyikapi dengan kepala dingin dan bahkan tawa.

Beberapa kali saya meluapkan kemarahan-kemarahan. Marah-marah sama kejadian Mei 98, marah-marah sama seorang teman yang jahat kepada saya, marah-marah sama follower blog, marah-marah sama orang yang iyik ngomentarin bahasanya Vicky, tapi benarkah saya marah karena hal-hal tersebut?

Saya rasa, saya adalah tipe orang yang butuh pelampiasan. Saya membayangkan kalau saya tidak bisa menulis seperti ini. Kemarahan dan kesedihan saya bisa saja tersalurkan ke hal lain yang lebih merugikan.

Teman-teman, pernah nggak sih merasa marah akan suatu hal tapi nggak bisa mengungkapkan? Dan pada akhirnya hal lainlah yang kemudian menjadi pelampiasan?

Thursday, November 21, 2013

Bisakah Kita Menilai Seseorang itu Nggak Bahagia dan Pilihan Hidupnya Salah?

Saya punya seorang teman, yang nikah sama perempuan pilihannya. Perempuan pilihannya tersebut kebetulan single parent berusia sangat muda. Saya nggak bermasalah dengan hal seperti itu sih. Semua orang punya masa lalu. Semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. Karena saya nggak pernah hamil diluar nikah bukan berarti saya lebih baik dari perempuan-perempuan yang pernah hamil di luar nikah. Maksud saya, siapapun nggak punya hak menghakimi pilihan hidup orang lain.

Tapi tahu sendiri lah, orang-orang. Mulai ngomong di belakang dan bahkan di depannya. Tentang betapa kasihan nasib teman saya. Tentang masa muda teman saya yang dirampas oleh perempuan beranak satu itu. Tentang seharusnya teman saya bisa dapat perempuan yang lebih baik. Dan saya kalau lagi pada bergosip tentang itu ya hanya ber-"oh", "hmm..", "ya mbok ben". Seingat saya, sampai dengan saya nulis ini, saya belum pernah beropini tentang kehidupan rumah tangga teman saya itu. Ini debut.

Suatu hari yang lain, saya berita lagi tentang sepak terjang rumah tangga teman saya tersebut. Menurut berita yang beredar, teman saya resign dari pekerjaannya, yang mana sebenarnya posisinya sudah sangat bagus di kantor tersebut. Alasannya, menurut si A yang cerita katanya dengar dari si B yang meripakan teman dekatnya si C yang mana adalah teman dekat teman saya tersebut, teman saya resign dengan alasan kantornya yang sekarang terlalu menyita waktu. Kerja dari pagi sampai malam, minggu pun sering masuk. Ngomong-ngomong soal pulang malam, saya malah jadi inget suami saya. Oke, abaikan kalimat terakhir dalam paragraf ini.

Orang-orang mulai bergunjing lagi. Katanya gila ajah sudah punya anak istri malah resign. Katanya teman saya nggak bisa mikir. Katanya teman saya cari mati. Situasi pergosipan semakin memanas. Berita terakhir yang saya dengar dari si A yang diberitahu si B yang dengar dari si C, istrinya yang meminta teman saya resign. Jadi istrinya kemudian yang disebut-sebut gila, nggak bisa mikir, dan cari mati.

Dan mulailah lagi pembicaraan berkisar soal tentang betapa kasihan nasib teman saya dapet perempuan seperti itu. Tentang masa muda teman saya yang dirampas oleh perempuan beranak satu itu. Tentang seharusnya teman saya bisa dapat perempuan yang lebih baik. Tentang betapa teman saya nggak bahagia dalam hidup perkawinannya.

"Ya kan, Rum?" Tanya salah seorang teman saya. "Hmmm.." Jawab saya.

Saya bukannya nggak suka gosip. Saya nggak munafik sih, saya suka bergosip juga. Tapi yang ini terlalu aneh untuk bahan gosip menurut standar saya. Ini bener-bener bukan bahan gosip. Menurut saya yang harus kita lakukan dalam menyikapi kalau ada yang punya hidup seperti teman saya tersebut, ya biarin aja dia menjalani hidupnya sih. Ngomongin ya boleh aja. Tapi kalau sampai pada kesimpulan betapa kasihan dan nggak bahagianya teman saya, saya nggak mau komentar. Ya gimana dong, saya bener-bener nggak tahu dia bahagia atau enggak. Kalau nggak bahagia pun juga dia sendiri kok yang memilih jalan hidupnya yang sekarang. Pasti dia punya alasan.

Sebenarnya, teman saya tersebut nggak terlalu dekat sama saya, tapi dekatnya sama suami saya. Dan fakta-fakta yang ada di gosip tersebut, semacam bahwa teman saya punya anak dan teman saya resign, di konfirmasi kebenarannya oleh suami saya. Tapi kalau tentang kebahagiaannya, suami saya nggak pernah ngomongin sih. Saya juga nggak pernah tanya. Soalnya yang saya peduliin kebahagiannya ya cuma saya dan suami saya. Saya lagi nggak peduli kalau si A si B si C dan teman saya itu nggak bahagia. Lagi cuek gitu sayah. Lagi sok cool.

Sampai suatu hari saya berkesempatan ketemu sama teman saya dan keluarga kecilnya. Ngobrol-ngobrol walau cuma sebentar. Semua kelihatan bahagia. Teman saya bahagia. Istrinya bahagia. Anaknya...mmm...entah deh. Saya nggak bisa mendeteksi seperti apa balita bahagia. Balita kan ya gitu semua, kalau nggak ketawa ya nangis --".

Bukannya temen saya dan istrinya senyum terus kaya orang sarap sih. Tapi pokoknya saya bisa ngerasain aura penuh cinta kalau lagi di deket mereka berdua. Kelihatan teman saya cinta sama istrinya. Dan istrinya cinta sama dia. Dia dan istrinya cinta sama anaknya. Anaknya...rrrr...saya nggak ngerti balita penuh cinta itu kaya gimana. Pokoknya kelihatan.

Jadi yang orang-orang bilang kasian dan nggak bahagia itu apa? Terus kenapa kasihan dapet perempuan ini? Kelihatannya teman saya bahagia tuh sama perempuan ini? Kalaupun bener nggak bahagia, lagi-lagi dia sendiri kan yang memilih jalannya? Semua manusia pengen bahagia. Pastinya temen saya memilih jalan hidup yang bikin dia bahagia. Kalaupun dia nggak terlihat bahagia, saya percaya kalau pilihan hidup yang lainnya bakalan lebih bikin dia nggak bahagia. Ayo deh, pernah punya anak di luar nikah nggak bikin orang jadi nggak bisa bahagia. Nikah sama perempuan yang udah punya anak juga nggak bikin seseorang kemudian harus nggak bahagia.

Saya tanya, apakah akhir-akhir ini teman saya tersebut ketemu si A si B si C si D si E? Katanya enggak. Ngobrol? Juga enggak. Sungguh deh...

Sudahlah...

Tuesday, November 12, 2013

Pengen Pulang

Baru sebulan lebih sedikit saya tinggal di Jakarta. Dan temen-temen terdekat saya sudah mulai muak dengan celotehan saya soal oh betapa saya kangen Jogja, betapa di Jakarta nggak ada yang jualan Ranee dan Rivera, betapa macetnya Jakarta, betapa panasnya Jakarta, betapa sumpeknya, betapa pahit dan judesnya orang-orang di jalanan Jakarta, dan lain-lain.

Saya tahu, memang bukan hal yang bijaksana ketika seorang pendatang seperti saya kemudian membanding-mbandingkan kota asal dengan kota yang saya datangi. Cuma bikin perbedaan yang memang selalu ada itu jadi terasa bertambah buruk. Dan jelas cuma membuat saya terlihat menjadi bertambah buruk. Pendatang penggerutu. Tapi saya bukan orang yang pandai menyembunyikan perasaan, walau demi kebaikan bersama sekalipun.

Dua hari yang lalu saya memimpikan sejenak terbang ke Jogja. Minta waktu untuk kumpul-kumpul lagi dengan orang tua dan teman-teman di Jogja. Sedikit berbelanja barang-barang kebutuhan yang di Jakarta susah banget di temui, atau di Jakarta mahalnya bikin gila.

Tapi ketika keinginan itu terwujud, saya malah kangen kepengen pulang. PULANG? Apakah saya mulai gila dan menyebut Jakarta RUMAH saya? Bukan Jakarta yang saya kangeni. Saya kangen suami saya. Sepanjang di Jakarta saya ngerecokin suami saya kalau saya pengen pulang ke Jogja. Dan sekarang saya di Jogja, rasanya ini bukan pulang.

Baru dua hari saya di sini, tapi saya sudah kepengen pulang. Saya kangen dia yang susah kalau disuruh sikat gigi sebelum tidur,. Saya kangen dia yang kalau jam 8 malem udah tidur. Saya kangen dia yang udah susah-susah saya masakin pagi-pagi malah nggak mau sarapan. Saya kangen dia yang suka gantungin baju-baju kotornya dan nggak mau baju kotornya dicuci. Saya kangen dia yang suka sembarangan nyabut carger HP saya. Saya kangen dia yang kalau pulang kerja jam 7 malem dan kemudian langsung tidur. Saya kangen dia yang suka ngerebut remote TV karena dia suka OVJ dan saya nggak.

Saya kangen.

Mendadak saya nggak pengen ketemu mbak Tami dan mbak Dhika lagi.
Nggak pengen ketemu Ndok, Titit, Adit, Upik, Tata, dan semua yang ada di sini.
Nggak semangat juga ketemu orang tua, mertua, dan nenek saya.
Saya cuma pengen pulang :(

Sunday, November 10, 2013

Sedang Resek

Pernah nggak situ keseeelll banget sama orang yang suka komentar? Pokoknya sembarang dikomentarin. Situ pake baju tertutup dibilang "sok alim". Pakai baju terbuka dibilang "murahan". Pake baju biasa dibilang "tumben". Rasanya pengen lepas baju secepatnya terus lagi ke arah si tukang komen sambil jejelin baju kita ke mulutnya?

Nah, tukang komen itu biasanya kita katain (atau kalau saya boleh bilang: kita komentarin) dengan sebutan: Resek!

Saya sendiri tergolong orang yang resek. Tapi resek saya nggak tertuju pada orang tertentu, tapi pada semua orang. Nggak lawan, nggak kawan, bahkan kucing tetangga juga nggak luput dari keresekan saya. Iya, saya resek emang sih. Yah, mungkin tertuju pada orang tertentu pada waktu tertentu. Kaya beberapa waktu yang lalu saya resek sama orang-orang yang resek sama orang-orang yang niruin Vicky. Tapi biasanya nggak lama trend resek saya segera berganti.

Ngomong-ngomong soal komentar, siapa sih diantara situ yang nggak pernah komentar? Ha!! Berarti situ juga resek! Nggak kok, suka komentar nggak selalu artinya resek. Komentar atau berpendapat jelas banget nggak bisa kita hindari. Wong ada kok yang namanya kebebasan berpendapat. Kalaupun kebebasan berpendapat yang ada ini kemudian nggak bebas lagi karena dibatasi oleh moral etika etc etc, ya tetep aja, siapa sih yang bisa mencegah kita punya komentar? Wong kita punya otak kok.

Mungkin pembatasan-pembatasan itu bikin kita nggak bisa menyuarakan pendapat. Tapi tetep aja kan kita punya pendapat? Kita punya komentar. Nah, kalau kita nggak menyuarakan pendapat kita secara membabibuta (kaya yang suka saya lakukan), ya kita nggak akan dibilang resek (iya, sekali lagi saya resek).

Adakalanya saya merasa sumpek sekali, dan butuh menyuarakan apa yang ada di benak saya. Dikala-kala begitulah saya mendadak menjadi orang paling resek dan menyebalkan yang pantas dijauhi. Kalau saya diam, sebenernya ya nggak apa-apa dan dunia menjadi damai. Tapi karena saya bener-bener resek pada suatu waktu, saya jadinya nggak bisa diam.

Saya kasih tahu satu lagi ciri-ciri ketika resek saya menyerang: Nggak cukup kalau hanya menyuarakan untuk diri sendiri. Jadi memang nggak melegakan ketika saya ngomyang sendiri tanpa ada yang mendengarkan, atau menuliskan komentar saya di diary bergembok yang kuncinya saya buang di kawah merapi. Keresekan saya butuh pendengar.

Makanya kemudian saya punya blog. Sayangnya, dengan semakin famousnya saya dan semakin banyaknya pembaca #prek, semakin banyak aja batasan yang ada dalam menyalurkan keresekan saya.
Jadi ketika resek saya kumat, biasanya saya mengatakannya pada seorang teman saya.

Yang barusan saya resek-i adalah: "aku risih banget deh liat kata "anu" diganti dengan kata "anu". Semacam nggak berkelasgitulhooooo".

Teman saya yang saya ajak resek: "ya mbok ben tooooo"

Saya: "Heh! Saya ini lagi resek! Dengerin aja sih!"

Teman saya: "Okayyyyy..."

Dan kemudian saya lega. Dan saya kembali menjadi istri imut manis baik hati dan ceria seperti sedia kala, untuk sementara waktu.

Wednesday, September 18, 2013

Saya lagi begah sama tim orang-orang yang marah-marah ketika ada yang bahas soal Vicky

Lha, padahal di post yang ono saya bilang itu terakhir ngomongin Vicky? Karena yang  mau saya bahas bukan Vicky, tapi kamu, kamu, kamu dan kamu yang sensi berlebihan sama orang-orang yang ngomongin Vicky.

Karena salah satu tulisan saya di blog sebelah, saya menerima banyak email (dan beberapa mention) yang intinya sih mereka nggak suka sama cara bercandaan saya yang kampungan. Permasalahan Vicky itu bukan selayaknya dijadikan bercandaan katanya. Okelah, saya mengaku salah dan kemudian meminta maaf secara pribadi kepada orang-orang yang memprotes saya, dan juga meminta maaf melalui postingan ini. Meminta maaf kepada Vicky? Nggak, nggak. Bukannya nggak mau, tapi saya nggak kenal soalnya. Mau tanya ke orang-orang yang protes ke saya juga saya yakin mereka nggak kenal.

Selesai?

Enggak dong. Masyarakat modern gitu loh. Kalau nggak memperpanjang sensasi kurang modern namanya. Bahkan sampai sesaat sebelum saya menuliskan ini pun, saya masih menerima hujatan via email berkaitan dengan penggunaan bahasa saya pada postingan review lipstik yang ini (yang baru sekalinya dan terakhir itu saya bercandaan begitu). Yaelah embak-embak, itu postingan tanggal berapa ya? Walau situ baru aja bacanya, bukan berarti saya nulisnya juga baru aja kan? Terus ya, saya juga sudah minta maaf. Seandainya pun posting permintaan maaf saya nggak terbaca oleh situ, situ masih bahas hal ini sekarang juga udah basi kaleuuussss.

Saat saya nerima email terakhir berkaitan dengan protes terhadap bahasa saya, sedang ada seorang teman saya. Dia bilang, "ya udah sih Rum, hapus aja postingan tersebut." APA? Ogah lah. Menurut saya nggak sepenting itu juga sampai saya harus hapus postingan. Terus teman saya yang lain tanya: "Jadi postingan kamu lebih penting?" Ya iya lah. Seenggaknya lebih penting dari orang-orang yang ngaku begah sama sesuatu tapi malah bahas berkali-kali.

Iya lho, kalau saya perhatikan, sebenernya orang-orang yang bercandaan soal Vicky itu cuma pakai bahasanya sekali dua kali. Yang bikin bahasa itu seolah-olah muncul terus ada dua. Yang pertama karena yang bercanda sesekali itu buanyak. Dan yang kedua karena orang-orang yang memprotes bercandaan itu juga banyak, bahkan tipe kedua ini saya perhatikan lebih banyak ngomong juga.

Sekarang gini deh, saya juga pernah eneg banget sama suatu bahasa, yaitu: Cetar Membahana. Semua orang pakai. Setiap blogwalking juga selaluuu dipakai. Kalau Syahrini yang ngomong sih imut ya kesannya. Tapi ketika hampir setiap jam saya lihat dan dengar kata itu ya berasa enggak imut lagi. Reaksi saya? Ya saya nggak memakai kata-kata itu toh. Beres kan? Kalau ada yang twitternya cetar-cetar terus ya saya mutte. Kalau ada yang di blognya cetar-cetar terus ya nggak saya baca postnya.

Karena kalau saya terus sibuk: : "kesel deh sama yang pakai cetar membahana. Mengejek itu bla bla bla." Bukannya berarti saya masuk ke golongan orang-orang yang pakai kata cetar membahana ketika itu? Terlepas dari apapun kalimatnya.

Begitu juga dengan bahasa Vicky ini. Saat-saat ini, yang kelihatan di TL saya cuma: "Plis deh, udahan yuk Vicky-vickynya." dan sejenisnya yang diucapkan berulang kali. Saya malah nggak lagi melihat orang yang pakai kata "labil ekonomi", yang mana itu berarti tim orang-orang yang marah-marah ketika ada yang bahas soal Vicky bahkan lebih banyak daripada tim yang bercandaan soal Vicky. Ketika tim yang bercandaan soal Vicky udah mingkem tim orang-orang yang marah-marah ketika ada yang bahas soal Vicky masih terus mangap.

Dan saya jadi begah.

Karena dalam proses mereka memprotes bullying terhadap Vicky, mereka nggak jarang menggunakan bahasa yang kasar dan merendahkan, yang mana artinya mereka juga sedang melakukan bullying terhadap tim orang-orang yang bercandaan ala Vicky.

Terus satu lagi nih, bersamaan dengan merebaknya kasus Vicky, ada kasus serupa juga, yaitu kasus tabraannya Dul anaknya Ahmad Dhani. Saya sempet lihat TL beberapa orang yang memprotes soal bercandaan ala Vicky. Ternyata mereka itu kena arus juga memaki-maki Dul dan Ahmad Dhani di TL. Lalu beberapa hari kemudian, mereka protes kemana-mana soal bercandaan ala Vicky. Soal Bullying. Jadi, sebenernya pada tahu nggak sih arti kata bullying?

Kadang saya berpikir, apa karena semua orang berlomba-lomba pengen jadi beda gitu ya? Pengen anti-mainstream. Ketika bercandaan soal Vicky terendus sebagai sesuatu yang bakalan jadi mainstream banget, mereka beramai-ramai menjadi berbeda. Yah...anti mainstream kok rame-rame --". Saya cuma mau bilang sih, jadi anti mainstream itu karena saking banyaknya yang pengen udah mainstream banget sekarang.

Tapi saya juga tahu kok, ada beberapa orang yang beneran tahu arti bullying, yang nggak suka terhadap merebaknya bercandaan soal Vicky. Dan mereka memprotes dengan elegan. Dan mereka juga nggak melakukan bullying lain di twitter. Tapi biasanya orang seperti ini malah protesnya nggak membabi buta. Dan cenderung diem aja karena nggak mau menambah-nambahi pembahasan soal yang mereka nggak suka itu di socmed, seperti ketika saya begah sama kata Cetar Membahana.

Apakah setelah saya nulis ini bakalan ada tim orang-orang yang sebel sama orang yang begah sama tim orang-orang yang marah-marah ketika ada yang bahas soal Vicky?

Saturday, September 14, 2013

Cukup Sudah Pembahasan Mengenai Bahasasisasi

Kalau kalian bisa sampai kepada blog yang nggak begitu tenar ini, berarti kalian adalah pengguna Internet kelas berat. Soalnya nggak mungkin kalau cuma sekilas pakai internet bisa nyempil ke blog galau semacam ini. Nah, kalau kalian adalah pengguna internet kelas berat, nggak mungkin kalau nggak tau yang namanya Vicky Prasetyo, eks tunangannya Zaskia Gothik.

Eniwe, jauh sebelum peristiwa ini pacar saya udah nge-fans aja sama Zaskia Gothik --".


Semalam di TL saya, muncul twit dari @PrincessChizty:
"Indonesian people are funny. Vicky-nya dihujat, diejek, dan di-bully. Eh bahasanya ditiru. Jadinya benci atau ngefans nih?"
(Tant, nyatut nama ya, Tant. Kalau nggak boleh ntar saya hapus deh nama panjenengan :D)

Saya membalas:
"Kalau saya sih nge-fans..."

Terlepas dari persoalan tipu-tipu dan ke-playboy-annya, menurut saya sosok Vicky ini menarik. Bukan, bukan karena wajahnya yang konon katanya mirip Brad Pitt. Tapi karena ke-pede-annya. Nggak cuma sekali ini seluruh jamaah twitteriah mendapatkan public enemy untuk dicaci, banyak kok kasus seperti itu. Ada yang nyeleneh dikit, langsung seluruh khayalak ramai-ramai membahas. Yang saya yakin nggak semuanya mengejek, tapi jadi terkesan mengejek. Termasuk saya.

Lagi-lagi, terlepas dari segala kasus yang menimpa pribadi Vicky, saya lumayan tertarik sama ke-pede-annya dalam berbicara. Nggak usah sok bijak-bijak ngece lah ya, jelas kita semua tahu kata "statitusisasi" dan "kosabahasisasi", serta peletakan kata-perkata dalam rangkaian kalimat yang diucapkan Vicky, secara struktur bahasa adalah salah. Saya nggak ngerti juga, mungkin dia lebih lancar berbahasa daerah atau berbahasa asing? Saya juga punya kok teman orang Indonesia setengah bule, yang bahasa sehari-hari di rumahnya adalah bahasa Inggris. Dia dulu suka agak-agak kagok gitu kalau ngobrol pakai bahasa Indonesia gaul. Sekarang sih dia udah fasih misuh-misuh pakai bahasa Jawa segala --".

Begitupun dengan saya. Bahasa yang sangat saya kuasai adalah bahasa Indonesia. Sebagai orang jawa, saya ngerti bahasa Jawa juga, tapi nggak mendalam. Saya bisa melakukan percakapan dengan bahasa jawa krama inggil, asal nggak terlalu panjang dan topiknya nggak terlalu berat. Terus bahasa asing yang saya ngerti juga cuma bahasa Inggris. Itupun ya sama kaya bahasa Jawa Krama Inggil, nggak fasih-fasih banget.

Untuk bahasa Inggris ini, karena saya nggak fasih-fasih banget, jadinya nggak pernah saya gunakan dalam percakapan. Apalagi saya ini tipe yang nggak suka dengan bahasa campur-campur ala Cincya Laura. Menurut saya, bahasa Inggris ya oke lah, saya oke-oke saja mendengar atau membaca perkataan atau artikel dalam bahasa Inggris. Tapi berbahasa Inggris lah dengan baik. Saya sering mendapati artis-artis jaman sekarang kalau diinterview suka menyelipkan beberapa kalimat berbahasa inggris, yang ya, sebenernya kurang pas dan terkesan dipaksakan. Yang saya herannya kok artis terkait nggak dibahas ramai-ramai di twitter kaya Vicky dan Jajang, padahal sama anehnya. Saya nggak suka sih, yang campur-campur begitu.

Saya sendiri hanya menggunakan bahasa Inggris hanya dalam bentuk tulisan, itupun untuk urusan pekerjaan bukan blogging-blogging alay semacam ini. Kalau untuk ngomong, sungguh saya nggak pede. Padahal katanya, berbahasa itu yang penting kebiasaan. Kalau nggak dilatih dan dibiasakan ya nggak mungkin bisa. Tapi sungguh saya nggak pede.

Orang-orang seperti Vicky ini saya kagumi ke-pede-annya. Saya yakin kok, pada akhirnya Vicky akan belajar membenahi vocabulary dan grammar-nya pelan-pelan, belajar dari kritik yang dia dapatkan di media sosial tentunya (semoga). Tapi kan yang penting, walau nggak lancar bahasanya, dia berani mempraktekan dulu kan? Karena sekali lagi, bahasa itu adalah soal latihan dan kebiasaan.

Saking seringnya saya melihat dan mendengar kata "kontroversi hati", "konspirasi kemakmuran", "statitusisasi", dan "kebagusan reputasi" akhir-akhir ini, tanpa sadar kata-kata itu kaya nancep aja dipikiran saya. Jadi inget Syahrini dengan "cetar membahana"-nya juga nggak sih? Kata-kata itu juga sempet seolah nancep di kepala. Bahkan menurut saya, "cetar membahana" itu digunakan dengan lebih berlebihan dibandingkan dengan "faktualisasi". Saya aja sampai eneg ngeliat setiap blog walking atau twitteran pasti nemu kata itu. Jangka waktunya lama pula.

Ketika saya menggunakan kata-kata "kontroversi hati", sebenernya saya sudah nggak memikirkan Vicky sebagai penggagas kata tersebut. Apalagi mikirin kasus-kasus dan berbagai kontroversi hati yang beneran menimpa dia! Sungguh. Ya cuma lucu aja. Kata-kata tersebut biasanya jarang ditemui di kehidupan sehari-hari, dan mendadak tersebar dimana-mana. Ketika saya menggunakan kata "labil ekonomi", bukan maksud saya melakukan bully atau ejekan terhadap Vicky. Bahkan saya seringnya nggak mikirin Vicky ketika mengucapkannya.

Kalau penggunaan kata-kata tersebut dianggap alay dan norak, saya sih bodo aja. Alay dan norak itu kan masalah selera, dan nggak semua orang punya selera yang sama. Tapi kalau penggunaan kata-kata tersebut dianggap sebagai ekspresi bullying, ya sudah, saya mengaku salah, meminta maaf, dan saya akan berhenti pakai.

Dan artikel ini adalah terakhir kali saya menuliskan mengenai bahasasisasi.

Friday, September 13, 2013

Ada Rasa Yang Berbeda

Ada hal yang berbeda ketika membawa calon pasangan hidup kita pulang ke rumah, masuk ke kehidupan kita.

Sejak mulai kuliah s1, tepatnya tahun 2003, saya merantau ke Jogja, misah sama orang tua saya. Ngekos sendirian. Walau Solo-Jogja juga cuma satu setengah jam perjalanan, tapi tetep aja berbeda rasanya ketika tinggal sendiri tanpa bapak dan ibu. Termasuk bapak dan ibu saya tentu saja nggak bisa lagi mengenal dengan lebih dalam semua teman-teman atau orang yang dekat dengan saya.

Dulu waktu saya masih tinggal di Solo, hampir semua teman pernah bertandang ke rumah orang tua saya. Soalnya rumah saya memang tergolong yang enak buat nongkrong. Jadi bapak ibu saya kenal dengan hampir semua teman-teman saya. Beberapa kali saya punya pacar, tapi ya karena saya masih kecil waktu itu, bapak ibu memperlakukan pacar-pacar saya seperti layaknya teman biasa aja.

Sebelum dengan calon suami saya yang sekarang, sayapun beberapa kali punya pacar. Dua yang terakhir sebelum calon suami saya, sudah saya ajak pulang ke Solo untuk berkenalan dengan bapak dan ibu saya. Tapi ya cuma mampir sekilas, nggak berkenalan secara mendalam. Soalnya mampir ke rumah pun cuma sejam-dua jam.

Dengan calon suami saya yang sekarang pun, bapak ibu saya sudah kenal lamaaaa sekali. Soalnya saya memang sudah temenan 10 tahun sama calon suami saya. Dan dia adalah sahabat saya yang paling dekat selama di jogja, sehingga beberapa kali ikut saya pulang ke Solo, bahkan pernah nginep juga di rumah Solo. Tapi ya bapak dan ibu saya tahunya itu teman.

Ketika tiga tahun yang lalu kami memutuskan untuk pacaran, saya nggak langsung kabar-kabar ke bapak ibu. Soalnya jujur ketika itu saya juga belum tahu arah dan tujuan hubungan kami. Baru pada bulan Juli tahun lalu, saya membawa dia ke rumah lagi, kali itu sebagai pacar.

Tentunya rasanya berbeda ketika mengajak dia pulang ke rumah sebagai laki-laki pilihan saya.

Saya dan dia tentunya selama 10 tahun sudah sangat saling mengenal, dan boleh dibilang nggak perlu lagi berproses agar bisa nyaman satu sama lain. Masa itu sudah lewat lah. Tapi dia dan keluarga saya tentunya harus berproses agar saling merasa nyaman. Selama masa pertunangan kami, dia jadi sering bertandang ke rumah Solo, mengakrabkan diri tidak hanya dengan bapak ibu saya, tapi juga dengan keluarga besar dan segala aspek kehidupan masa kecil saya.

Ada rasa yang berbeda ketika mengajak dia melihat kamar masa kecil saya,
ketika mengajak dia menyusuri jalan-jalan di desa saya,
memperlihatkan bekas pohon talok yang dulu sering saya panjat,
menunjukan bangunan SMA saya,
rumah mantan guru SD saya,
makan soto langganan bapak saya.

Kebetulan bapak dan ibu saya dua-duanya bekerja. Jadi waktu kecil, saya harus dititipkan. Orang tua saya memilih menggaji secara bergantian tetangga sekitar untuk menemani saya selama mereka bekerja, dibandingkan membayar Nani yang nggak dikenal. Jadi, saya dan ibu-ibu tetangga sekitar punya semacam hubungan yang sangat dekat. Kalau saya pulang, dan mampir ke salah satu rumah mereka, pasti saya diciumi dan dipeluk, "mbak Arum sudah besar sekarang." Nggak jarang saya diinterogasi, "calonnya orang mana? Kerja dimana? Baik nggak sama mbak Arum?" Dan pertanyaan-pertanyaan lain, yang apabila diucapkan oleh orang-orang lain akan membuat saya marah, tapi ketika mereka yang mengucapkan saya hanya merasa hangat.

Ada rasa yang berbeda ketika mengenalkan dia kepada mak Tik, mak Tri, mak Yem, mak Roh, mbak Parto, lek Min..

Walau keluarga dari Bapak saya Katolik semua, tapi ketika lebaran, ada adat untuk berkumpul di rumah almarhumah nenek saya. Bapak-ibu saya sekeluarga, bude-pakde-om-tante sekeluarga yang jumlahnya besar. Kami punya tradisi untuk nyekar dan bersilaturahmi kepada tetangga-tetangga almarhum kakek dan nenek.

Ada rasa yang berbeda ketika melihatnya berbincang akrab dengan pakde saya,
ikut bersih-bersih rumah bersama saudara-saudara laki-laki saya,
mencium pipi bude saya,
dan bercanda-canda dengan sepupu-sepupu saya.

Saya dan dia punya prinsip yang sama soal pertemanan. Selama mereka nggak merugikan atau membawa dampak buruk, sebisa mungkin kita selalu menjaga silaturahmi dan hubungan baik. Demikian juga dengan mantan-mantan kami. Hampir semua punya hubungan baik dengan kami berdua, sebagai teman.

Ada seorang mantan saya yang merupakan teman masa kecil saya. Saya dan mantan saya tersebut sudah dekat semenjak balita. Jadi bahkan ketika putuspun, saya masih semacam mempunyai ikatan kuat dengan mantan saya tersebut. Masih dekat, masih main bareng, dan saling cerita. Bahkan sampai saat ini. Ketika terakhir kali dia pulang, saya mengajak dia ke rumah mantan saya itu.

Ada rasa yang berbeda ketika pertemuan itu semacam menegaskan: "ini lho teman masa kecil saya yang saya sayangi, yang sampai kinipun saya masih selalu mencari dia pada saat hidup menyesakkan."
Ada rasa yang berbeda ketika melihat mereka berdua berjabat tangan dan saling melempar senyum hangat,
ketika yang satu mengucap selamat dan yang satu berterima kasih.

Ada rasa yang berbeda ketika saya berbaring dengan mata nyalang di tempat tidur masa kecil saya malam ini,
dan menyadari kalau akhir bulan ini saya adalah Ny. Ig. Dani Ardianto :').

Sunday, September 1, 2013

Kisah Tas Pink Buluk, Dompet murahan, Kalung Mainan, Kondom Rasa Pisang, dan Hal-hal Tidak Penting Lainnya



Packing?

Udah nggak terhitung berapa kali aja dalam hidup saya. Karena saya hobi traveling, karena pekerjaan saya terkadang mengharuskan saya kemana-mana, karena saya juga beberapa kali pindahan. Yang pertama pindah dari Solo ke Jogja untuk kuliah. Tahun kedua saya pindah kos ke kos yang nggak ada jam malam dan nggak ada aturan tamu dilarang masuk kamarnya karena saya mulai punya pacar >'<. Tahun ketiga saya pindah kos ke kos yang ber-wifi karena saya mulai doyan ngeblog. Terus sekitaran tahun lalu saya beli rumah di Jogja, jadi harus pindah dari kos ke rumah baru.  

Initinya sih masukin barang-barang ke dos, angkat dos ke tempat yang baru, keluarin barang-barang dari dos, dan tata di tempat yang baru. Sebelumnya saya nggak pernah ngerasa berat untuk packing. Malahan packing begini jadi ajang saya bersih-bersih. Barang yang nggak diperlukan lagi saya buang atau saya kasihkan kalau ada orang yang lagi butuh. 

Saat packing mau pindahan ke Jakarta ini, agak-agak susah. Saya bener-bener pusing milih mana barang yang saya tinggal, dan mana yang saya bawa. Termasuk mana yang saya buang. Akhirnya sih saya milih bawa semua-muanya. Semua saya masukin dos dan kirim ke Jakarta.

Semua termasuk dompet dagadu murahan yang beli bareng sepupu saya, yang ketika itu saya mengalami hari yang menyenangkan di Malioboro. 
Tas pink dari mantan saya, yang udah buluk dan nggak mungkin saya pakai lagi, bahkan kalaupun masih bagus juga saya males pakai tas warna pink. 
Jeans yang lututnya robek karena saya tabrakan motor pas saya mau dateng ke ulang tahun temen saya. 
Kajal yang smudge abis kalau dipakai, oleh-oleh ses Sekar dari Arab.
Syal rajut warna biru yang jarang saya pakai karena saya memang nggak demen pakai syal, buatan tangan ses Tintas.
Kalung aneh kaya mainan murahan warna-warni hasil beli di Bali ketika saya ke Bali bareng temen-temen se-geng.
Skripsi yang saya tahu nggak bakal saya pakai lagi.
Rak tempat saya menyimpan kosmetik pertama saya, walau di Jakarta saya tahu pasti ada rak semacam itu juga.
Kaos buluk dan agak kekecilan yang saya beli di Bali kembaran sama sahabat saya.
Bandana pink yang saya rampas paksa dari salah seorang teman saya.
Kondom rasa pisang yang saya beli dari apotik dekat kos karena saya dapet tantangan saat main "truth or dare" :p
Botol-botol, kertas-kertas, rekaman-rekaman... dan lain-lain.

Semua itu saya packing, saya nggak mampu untuk membuangnya atau meninggalkannya. Saya mau barang-barang itu ada terus bersama saya. Meski kemungkinan besar nggak akan saya pakai juga, meski bawanya susah dan pakai diomel-omelin karena bawa begitu banyak barang yang nggak penting.

Ada kejadian lucu saat mas pacar bantu saya packing. Mas Pacar menemukan tas warna emas, bagus dan mahal, yang saya tinggal begitu saja di Jogja, sementara tas buluk warna pink yang nggak mungkin saya pakai lagi malah saya bawa. 

Mas Pacar tanya: "Ini nggak dibawa?"
Saya: "Nggak udah lah. Menuh-menuhin aja".
Mas Pacar: *memandang nanar tumpukan tas buluk, dompet usang, jeans robek, rak, kondom, dan lain-lain*

Yang saya sadari, sesaat sebelum saya menuliskan ini, makanya kemudian saya memutuskan untuk menulis, adalah: saya nggak berat meninggalkan tas emas yang mahal itu, karena saya nggak punya kenangan apapun terhadap tas tersebut. Tapi saya membawa kondom rasa pisang karena bersama benda itu saya mengalami kejadian yang menyenangkan.

Mmmm...saya harap teman-teman bacanya dari atas. Karena kalimat terakhir pada paragraph sebelum ini kalau di baca tanpa membaca keseluruhan isi cerita akan terdengar anu.

Kenangan memang bikin kita berat meninggalkan sesuatu atau seseorang. Tapi saya selalu menghibur diri, bahwa saya akan membuat kenangan baru yang lebih indah di tempat yang baru kelak, dan bahwa saya nggak akan kehilangan orang-orang di tempat yang lama karena kenangan-kenangan akan mereka akan selalu ada di hati.

Thursday, August 29, 2013

Setitik Luka



Akibat memakai garam mandi mahal made in Hongkong yang untuk dapetin pake ngesot-ngesot minta dikirimin sama turis gembel yang lagi kesasar di Hongkong.

Bikin mulus dari Hongkong --"

Ora bakat sugih, jooo!!!!

Tuesday, August 27, 2013

Suka Duka Mengurus Undangan

Lusa kemarin, saya curhat panjang lebar ke ses Dilla perihal undangan. Ehm...soal undangan ini sih saya menemui hal mengesalkan. Saya curhatin dikit nggak papa ya? Saya di puk-puk dong, ya?

Jadi duluuuu, saya lumayan sering denger curhatan dari temen-temen saya, "ih ya ampun masa si ini nikah aku nggak diundang sih padahal aku pikir kita deket ternyata aku salah sangaka ternyata hanya khayalanku semata aku sakit hati rasanya teriris huwaaaaaaa". Dan semacamnya. Padahal yah, kalau manten nggak ngundang itu pertimbangannya buanyak. Bukan cuma karena faktor nggak deket atau situ orangnya nyebelin, tapi juga masalah biaya dan konsep kawinan.

Kalau orang Jawa, kawinan itu bukan acaranya si manten, tapi acaranya orang tuanya manten. Meskipun misalnya duitnya dari si Manten, tetep aja unggah-ungguhnya, duitnya ya diserahkan semua ke orang tua untuk di gunakan mempersiapkan acara kawinan sesuai dengan keinginan orang tua. Calon manten boleh kok kasih saran. Tapi keputusan tetep di tangan orang tua.

Keputusan orang tua mengenai jumlah undangan itu juga nggak bisa sembarangan dong. Soalnya kan jumlah undangan itu berpengaruh juga sama konsumsi, kapasitas gedung, souvenir, dan lain-lain, yang mana berarti semakin banyak undangan semakin banyak pula biayanya. Makanya perihal undangan ini disesuaikan aja sama kebutuhan, kepantasan, dan yang penting kemampuan. Yang diutamakan pertama kali jelas undangan keluarga, terus kolega dari orang tua selaku yang punya hajat. Kalau temen manten mah, belakangan. Dikasih ya syukur, enggak juga ya udah sih kalau saya mah bisa party sendiri sama temen-temen.

Saya nggak keberatan dengan cara seperti itu, kan ini simbolisnya "terakhir kali" Bapak saya bikin pesta buat anaknya, dan "terakhir kali" ibu saya milihin baju, sepatu, dekorasi dan lain-lain buat anaknya :').

Soal undangan kawinan saya juga, semua itu terserah Bapak saya. Mungkin begitu juga di keluarga yang lain. Jadi jangan tersinggung kalau ada temen kawin dan nggak diundang. Jangan pundung dan kemudian marahan, tetep kasih selamat. Soalnya kalau pundung dijamiiinn bukannya dimintain maaf malah dicuekin balik deh. Kawinan itu udah ribet, masa masih harus ditambah ngurusin orang lain mutung?

Tapi untunglah Bapak saya baik banget, dan ngasih saya kebebasan untuk ngundang berapapun teman dan kolega saya. Asik yah! Bapak saya memang rock on! Tapiii lagi-lagi tapiiii, kalau di saya masalahnya bukan lagi jumlah undangan yang mepet, tapi ya kalau lagi ribet begini, kadang kan kita bisa lupa yah sama sesuatu. Termasuk misalkan lupa sama temen. Bukannya si temen yang dilupakan enggak penting atau enggak deket yah, tapi kalau otak lagi penuh gini, kadang malah hal-hal yang penting itu bisa kelewatan loh!

Contohnya aja kalau lagi pendadaran atau sidang skripsi nih. Temen saya banyak yang ngalamin pas sidang itu, pertanyaan penting, krusial, dan sudah dipersiapkan malah dia lupa jawabannya. Saya alhamdulilah nggak ngalamin begituan, soalnya pas saya sidang, saya nggak merasa stres. Biasa banget deh waktu itu dan lancar jaya. Tapi pas ngurus kawinan ini, saya agak-agak kepenuhan sih otaknya.

Terus yang menyebalkan lagi nih, saya kan lagi ngumpulin alamat temen-temen lama, yang udah tersebar di beberapa kota. Ada yang akrab ada yang setengah akrab ada juga yang nggak akrab tapi nggak enak kalau nggak diundang. Nah, saya harus tanya-tanya gitu dong alamatnya. Untuk keperluan mengirim undangan. Soalnya saya nggak suka ngundang via facebook atau email atau BBM. Eh...saya nggak papa lho kalau ada temen ngasih undangan via surel begitu. Kan malah irit. Cuma kebetulan saya pengennya ngasih undangan fisik. Gitu.

Awal Agustus kemaren saya mulai tuh ngumpulin alamat-alamat para kenalan. Via BBM, WA, Line, email, facebook dll. Ada beberapa yang begini:

Saya: "Hai, apa kabar? Aku boleh minta alamat kah? Mau kirim undangan nih :)"
Teman sebut saja Joko: "Oh..mau nikah ya?"
Saya: "Iya :)"

.....

1 jam kemudian

.....

1 hari kemudian

....

Oke, intinya percakapan berhenti. Nggak ada balesan lagi.

Ya sudah dong. Orang tersebut nggak datang kan kawinan saya tetep jalan. Jadi nggak perlu kan minta-minta lagi alamatnya? Lagi pula urusan saya kan banyak banget, bukan cuma ngurusin satu orang itu tok til. Terus saya juga pikir sih, mungkin orang tersebut nggak enak karena nggak bisa dateng. Mungkin dia udah di kota atau negara lain yang sangat jauh, jadi nggak mungkin bisa dateng. Terus dia kasian saya kalau harus kirim undangan padahal dianya nggak bakal dateng. Ya sudah kan?

NAH...SAYA PIKIR YA SUDAH!

Ternyata kemaren salah seorang teman saya, sebut saja Tejo, cerita via WA, kalau dia merasa bersalah. Katanya dia kemarennya lagi WA-an sama Joko, dan Tejo bilang kalau dia dapet undangan nikahan saya. Tejo tanya ke Joko, "kamu dateng nggak?" Terus Joko bilang dia nggak dapet undangan tuh. Joko bilang ke Tejo kalau dia merasa kecewa, dia pikir selama ini dia dekat sama saya, tapi ternyata Tejo dapet undangan dan Joko malah nggak dapet.

Ha? Bercanda?! Dan bukan cuma satu orang lho kasus seperti ini. Yang mana kemudian saya cuekin sih. Salah saya? Saya harus ngurusin satu orang aja gitu di nikahan saya?

Terus ada lagi yang begini, yang ini via telfon:

Saya: "Hai, apa kabar?"
Teman: "Baik. Kamu?"
Saya: "Mau ngasih kabar bahagia nih, aku mau nikah...
Teman: *memotong ucapan saya* "kirimin aku undangan lho. Aku nggak mau dateng kalau undangannya cuma lewat BBM atau fesbuk. Pokoknya harus undangan resmi."
Saya: ....
Teman: "Halo?"
Saya: "Emang saya ngundang situ?"

Blah!

Nggak kok. Ucapan saya yang terakhir cuma ada diimajinasi saya. Saya sih hanya menyudahi pembicaraan via telpon tersebut dengan sopan. Tapi ya saya mencoret namanya sih dari daftar undangan. Saya beneran cuma ngundang dia via BBM. Dateng syukur enggak juga saya tetep kawin :D.

Yah...masih banyak lagi suka duka mengurus undangan. Saya masih mending karena bapak saya baik dan mengutamakan undangan saya. Saya pernah denger curhatan beberapa calon manten yang cuma dikasih jatah sedikit undangan dan bingung banget milih mana yang diundang.

Monday, August 19, 2013

Ngomongin Film Horror ah!

source: www.kaskus.co.id

~ Perhatian ya, sebelumnya. Walaupun gambar pada postingan ini adalah poster film, tapi ini bukan review film. Saya sangat-sangat nggak berbakat ngreview film deh. Kalau nekad ngereview, biasanya jadinya malah spoiler -_-. ~

Kalian punya genre film yang jadi favorit, nggak? Selain bokep ya tentunya. Kalau bokep nggak usah diceritain deh. Ntar pengen. Kalau saya kayaknya pelahap segala jenis film. Ya termasuk bokep. Aeh...lupa ding, nggak boleh cerita soal bokep. Asal filmnya bagus, ya saya suka.

Ini bagus menurut saya lho, ya. Bukan menurut situ-situnya. Despicable Me 2 dan Twilight yang kata situ-situnya bagus itu, bagi saya malah payah. Jadi kalau soal film begini bener-bener masalah selera. Kayaknya sih saya suka jenis-jenis film yang berat. Saya memang anaknya berat gitu deh, Pembaca. Asik.

Salah satu genre yang film-filmnya banyak yang saya suka adalah horor. Tapi nggak sembarang film horor. Ada beberapa kriteria ala saya yang bikin film horror itu maknyus.

  1. Saya nggak Suka film horror Jepang/Korea

    Saya bukannya mau sok kebarat-baratan yah. Tapi memang kalau soal film, film apapun, saya sukanya film barat. Film Amerika atau Eropa. Atau film Londo kalau mbah saya bilang. Saya kurang suka sama film Jepang/Korea. Maap ye, buat penggemarnya, pan ini masalah selera aja paaannn?

    Bagi saya film barat itu jalan ceritanya lebih logis, apalagi kalau genre-nya horror begini. Terus menurut selera saya, film Jepang/Korea itu biasanya suka maksa-maksain lucu, tapi ya entah kenapa, humornya nggak masuk selera saya.

    Iyeee...saya ngaku lah. Selera humor saya yang kampungan kok. -_-.

    Kalau horror Indonesia, nggak usah diomongin lah yaaa. Saya sih suka-suka aja sama horror Indonesia. Tapi kan di awal post saya sudah bilang kalau jangan ngomongin bokep. Eh..ya nggak semua horror Indonesia itu bokep ding. Saya suka kok sama film horror Indonesia yang judulnya Lentera Merah dan Mirror. Dua film itu jalan ceritanya unik, akting pemainnya bagus, bentuk hantunya nyeremin, dan filmnya nggak berkesan murahan deh pokoknya. Terus saya juga suka film-filmnya Suzana, kaya Malam Satu Suro dan Sundel Bolong.

    "Bang, sate, Bang. Seratus tusuk, Bang." Ucapkan dengan nada datar.

  2. Bagi saya, hantu yang nyeremin adalah yang bentuknya kaya manusia

    Ada perbedaan persepsi serem antara orang sini dan orang barat. Kalau hantu ala-ala sini, ya kuntilanak, pocong, sundel bolong, dan kawan-kawan segengnya itu yang bentuknya kayak manusia tapi dengan riasan yang lebih anu. Sementara menurut orang barat, yang namanya hantu itu lebih absurd. Nggak selalu berbentuk manusia. Kadang ada film hantu yang hantunya bentuk monster ranting pohon (Mama), terus hantunya bentuk Joker (Incidious), atau bentuk Boneka (Chucky, May, Jigsaw), ada juga yang hantunya berbentuk binatang (Don't be Afraid of The Dark).

    Saya sendiri, sebagai generasi yang dibesarkan bersama film-film legendaris Suzana, jelas nggak bisa takut sama monster, joker, boneka, dan binatang jadi-jadian. Bagi saya, hantu paling serem ya kuntilanak Suketi Sundari ala Suzana.

    Dan untuk syarat yang ini, mutlak harus. Kalau mau bikin saya ketakutan, jangan ngajakin nonton film horror yang hantunya bentuk-bentuk absurd lah. Nggak bakal saya bilang serem --".

    Saya pernah tuh pas nonton Incidious, awal-awal film saya berpikir: "wah boleh nih!". Eh...di bagian-bagian belakang filmnya, baru deh ketahuan kalau bentuk hantunya itu joker pake tuxedo. Terus saya mendadak ngedrop. Nggak serem lagi.

    Terus juga film Mama. Ide ceritanya bagus sih menurut saya. Tapi sayangnya, lagi-lagi si hantu Mama bentuknya wagu. Menurut saya, film Mama ini bakalan serem kalau bentuk hantunya kaya orang biasa aja. Nggak perlu deh riasan yang anu. Dengan jalan cerita seperti itu, hantu bentuk manusia tanpa riasan anu pun udah cukup bikin serem.

    Contoh film dengan bentuk hantu yang serem: film-film horror Indonesia (hampir semua!), The Conjuring, Haunting in Connecticut, The Ring

  3. Seserem-seremnya Hantu Adalah Hantu yang Bisa Membawa Manusia ke Dunianya, atau Hantu yang Bisa ngajakin Jiwa Manusia Bertukar Tempat.

    Saya kalau lihat film hantu yang endingnya manusianya terjebak di alam lain, pasti merinding dan parno dah. Bayangin aja kalau kita terjebak di alam lain, yang nggak kita kenal, yang penghuni-penghuni lainnya udah mati semua. Atau kita terjebak di suatu benda, menggantikan "dia" yang sebelumnya menghuni benda tersebut, sementara tubuh kita dialih huni oleh "dia".

    Aaaakkk...tidaaakkkk!

    Contoh film yang hantunya kayak gini: Insidious, The Orphanage (El Orfanato), The Skeleton Key, Keramat, The Exorcism of Emmily Rose.

  4. Saya nggak Suka Sama Film Yang Diambil dengan Satu Kamera

    Maksudnya diambil dengan satu kamera adalah, film ini dibuat dengan maksud agar kelihatan kaya kejadian nyata gitu lho. Jadi sok-sokan dokumenter gitu. Kenapa saya nggak suka? Ya pusing bok, nontonnya! Goyang-goyang dan pencahayaannya biasanya sengaja dibuat kurang oke. Sumpah deh, saya nggak paham, kenapa sih film model begini bisa jadi trend? Kan nggak nyaman ditonton?

    Contoh film sok-sokan dokumenter: Paranormal Activity, Quarantine / [Rec], Keramat.

  5. Saya Suka Film Dengan Jalan Cerita Unik dan Ending Tak Terduga

    Saya nggak suka sama film-film horror thriller yang model sekumpulan remaja hore dibunuh satu-persatu. Yah semacam I Know What You Did Last Summer dan House of Wax, deh. Cerita kaya begitu itu mbosenin! Udah keseringan. Jalan ceritanya udah pasti ketebak.

    Bahkan The Cabin in The Woods yang endingnya sangat nggak terduga pun saya boring berat. Ya gitu-gitu aja deh. Cuma sekumpulan remaja lagi party terus dibunuh. Sisipan cerita yang bikin film ini lain dari thriller hore sebangsanya pun nggak cukup menolong film ini kalau menurut saya.

    Terus Quarantine gitu juga sih, menurut saya membosankan. Udah ketebak lah kalau semua orang bakalan dibunuh satu-persatu. Endingnya ya antara mati semua atau hidup satu yang paling cantik/gantheng.

    Film yang baru-baru ini heboh, yaitu The Counjuring, menurut saya sih bagus. Saya suka filmnya. Serem banget, neik! Sampai kebawa mimpi. Tapi tetep aja jalan ceritanya pasaran menurut saya. Rumah/Keluarga yang dihantui? Insidious juga. Kerasukan terus manggil paranormal? Wah banyak. Ada Paranormal Activity, Exorcism. Anak yang diambil mahluk dunia lain? Lagi-lagi Insidious, The orphanage. Tapi mungkin yang bikin istimewa, di The Conjuring, semua itu dijadiin satu, dan juga pengemasannya bagus sih menurut saya. Bener-bener pinter bawa suasana jadi serem dan yang nonton merinding bombay. Bentukan hantu di The Counjuring juga serem.

    Kalau contoh film horror dengan cerita yang unik: The Other, Mirror, The Ring (Lepas dari dia adaptasi apa bukan yaaa), terus apa lagi yak?

  6. Saya Suka Kalau Hantunya Punya Sejarah.

    Biasanya sejarah dari si hantu ini malah yang bikin cerita di film jadi menarik. Ya kaya di The Skeleton Key, The Conjuring, The Orphanage, The Haunting in Connecticut itu lah. Ada cerita menarik yang  melatar belakangi, kenapa bisa sampai ada hantu-hantu tersebut. Bisa karena di tempat itu pernah ada kejadian yang mengerikan dan super kejam, atau karena dendam si pemilik rumah lama, dan lain-lain. Pokoknya gimana caranya biar menarik.

    Emang ada yang hantunya nggak punya sejarah. Ohh...adaaa. Atau kalaupun ada sejarahnya, biasanya nggak menarik dan diceritakan singkat banget aja. Misalnya House of Wax dan thriller-thriller hore lainnya, Insidious, Don't Be Afraid of The Dark.
Sebenernya saya banyak nonton film horror sih. Tapi kalau pas niat nulis begini malah pada lupa-lupa judulnya >'<. Diantara semua film-film itu, yang memenuhi hampir semua kriteria saya kayaknya sih (kayaknya lho ya): The Orphanage. The Orphanage lho ya bukan The Orphan. Kalau The Orphan menurut saya masuk kategori horror thriller semi hore. Ya yang dibunuhin bukan sekumpulan remaja, tapi keluarga. Udah ketebak dari awal kok dari awal, kalau salah satu atau salah dua dari keluarga korban bakalan mati. Yang pasti selamat adalah si anak yang paling kecil dan ibunya.

Kalau The Orphanage ini film lamaaa banget. Ini adaptasi dari film Spanyol yang judulnya El Orfanato. Menurut saya sih ceritanya lumayan menarik dan menakutkan. Endingnya juga rrrr...tonton sendiri deh. Serem pokoknya.

The Counjuring, The Haunting in Connecticut, dan The Ring menurut saya juga layak tonton. Menurut saya tiga film itu menakutkan, bikin merinding, dan enak diikuti. Terus buat yang suka film horror yang nggak terduka endingnya, kalau belum nonton, boleh deh cobain nonton The Other. Sampai sekarang sih The Other ceritanya masih saya bilang unik dan bagus :D

Ada rekomendasi film horror buat saya?

Saturday, August 17, 2013

Lanjutan post Sebelumnya Tentang Email (Tamat)

Eniwe, ada pertanyaan keren lagi dari Anonim di blog sebelah yang berkaitan dengan post terbaru saya. Iyaaa, saya tahu saya udah jawabin komen dan email yang nggak terjawab di blog sebelah pada post yang lalu, dengan membabi buta. Tapi ya berhubung saya kurang kerjaan karena alat-alat makeup saya udah pada diangkut ke Jakarta, jadinya ya saya jawabin aja deh di sini.

~ Sebelum ada yang komentar juga, saya kasih pernyataan deh. Iya memang kerjaan saya sehari-hari cuma dandan, makan, tidur, dan ngeblog. Mandi aja jarang. Makanya saya kekurangan kerjaan kalau alat makeup saya nggak ada. Gitu. Tet. Key, ya. Ganti topik. ~

Ini pertanyaannya:
"Cih, mau kawin aja pakai sok sibuk, koar-koar di blog. Caper ya? Pengen di kasih selamet gitu? Kamu kayaknya tipe yang nggak dapet perhatian ya di dunia nyata, sampai caper di dunia maya?"

Jawaban saya:
Hai mas/mbak Anonim,
Orang saya mau be'ol aja caper, apalagi mau kawin :D

Sekian jawaban dari saya.


Tambah lama saya jadi semakin mengagumi mbak/mas Anon ini. Tekad kuatnya untuk teruuuussss komen di blog saya, padahal komennya selalu masuk spam. Pantang menyerah. Makanya saya menghargai pertanyaan-pertanyaannya dengan jawabin di sini. Biar nggak mubajir gitu lho, komennya :D.

Tapi ya, saya nggak bisa terus-terusan nanggapin juga, mas/mbak. Soalnya saya kan sibuk, latihan hambur-hamburin duit suamik. Ihiy.. Jadi maap yaw, kalau lain waktu pertanyaannya saya delete dan cuekin. Sibuk shoping sih saya.

Andaikata saya bisa tau identitas asli, kayaknya sih kita bakalan cocok banget deh temenan. Secara yah, kita sama-sama resek.

Andaikata lagi, yah. Andaikata saya boleh ngomong seudel-udelnya di blog sebelah, kaya kalau saya ngompong di sini, pasti dunia saya lebih indah. Tapi sayangnya di blog sebelah saya dituntut untuk jaga image, membentuk citra diri yang lebih mulia.

Ah...nasib deh jadi selebritis.

Wednesday, August 14, 2013

Iseng-iseng Jawab Email (Jangan Terlalu Serius, Plis!)

Iseng nih. Pengen jawab komen dari blog sebelah yang nggak mungkin saya jawab di sono. Dan jawabin email-email yang sebenernya pengen saya jawab, tapi akhirnya saya cuekin demi kedamaian sekalian umat.


Pertanyaan Pertama:
"Mbak, saya udah pakai tretinoin selama tiga hari/seminggu/sebulan nih. Kok belum ada perubahan apa-apa ya? Berapa lama saya harus pakai agar dapat perubahan yang berarti?"

Jawaban saya:
Hai, mbak. Sebelumnya saya tanya, apakah step-step skincare kamu sudah benar atau belum. Tretinoin ini harus dipakai bersama dengan ritualnya. Saya kasih tau rahasianya ya:
  1. Pakailah tretinoin ini tepat 5 menit setelah matahari tenggelam
  2. Sebelum memakai, kamu harus menyiapkan sajen berupa kembang tujuh rupa dan tujuh ekor semut rang-rang betina. Letakkan sajen di sudut barat kamar. Kalau sudut kamar kamu nggak ada yang mengarah ke barat (tenggara atau barat laut misalnya), sebaiknya segeralah lakukan perencanaan pembangunan ulang kamar kamu. Oh iya, jangan lupa bakar menyan dan tujuh batang lilin juga.
  3. Setelah tretinoin dioleskan, keluarlah ke halaman rumah, kemudian tarikan tarian "Aserehe" selama tujuh menit. Gerakan bisa dicari sendiri di Youtube, gratis.
Lakukan step-step dari saya itu dengan telaten ya, sampai dengan hari yang ke 1000. Jangan sampai terlewat. Kalau terlewat sehari saja, hitung mulai dari hari pertama lagi.

Kalau kamu berhasil melewati 1000 hari, selamat. Kamu mempunyai kemauan kuat dan tekad baja!


Pertanyaan Kedua:
"Sunblock itu penting nggak sih?"

Jawaban saya:
Jaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita tua bersama dengan anaknya yang masih gadis. Mereka berdua tinggal di hutan, nggak ada toko kosmetik, apa lagi mall dan KFC. Si wanita tua ini punya cita-cita agar anaknya menjadi Miss Universe. Maka si Wanita tua rajin merawat kecantikan kulit si anak dengan jejamuan dan ramuan tradisional yang ada di hutan. Si Anak jelas nggak kenal industri kosmetik modern.

Pada suatu hari yang menjanjikan, mendaftarlah si anak ke ajang kontes putri-putrian di kota, yang jauhnya 3 hari berkuda dari hutan tempat tinggalnya. Sampai di sana, sembari menunggu dan mengisi formulir, si Anak ngobrol dengan calon kontestan lain.

Kontestan lain: "Eh...halo. Kulit kamu bagus ya. Pakai sunblok merk apa?"
Si Anak: "Sunblok itu apa ya?"
Kontestan lain: "Nggak gaul banget sih? Masa sunblok aja nggak tau"

Kemudian si Kontestan lain tersebut melengos dan mencari teman lain. Kegagalan pertemanan pertama si Anak hutan ini adalah karena si Anak tidak memakai sunblok.

Jadi, dari cerita di atas, bisa disimpulkan sendiri yah :).


Pertanyaan ketiga:
"Kok trafic kamu bisa sejuta lebih sih?"

Jawaban saya:
Oh iya, saya memang bayar sejumlah orang untuk membuka blog saya setiap harinya. Satu klik saya bayar seribu rupiah. Lumayan banget kan? Kalau dalam sehari orang tersebut membuka blog saya seribu kali, berarti dia mendapat uang sejuta rupiah perhari. Kerjaannya gampang, bisa dilakukan sambil duduk, ngemil, nonton film, olahraga, dan lain-lain. Paling resikonya adalah telunjuk kamu jadi lebih berotot.

Kamu tertarik juga dengan pekerjaan ini? Silahkan hubungi menejer saya ya :)


Pertanyaan keempat:
"Kamu kan nggak pernah les makeup, kok berani sih bikin beauty blog?"

Jawaban saya:
Untuk apa les makeup? Saya merasa nggak perlu. Karena saya tahu satu rahasia alam, bahwa kunci dari kecantikan wajah ada pada menyan, kembang tujuh rupa, semut rang-rang betina, dan aserehe. Lihat jawaban saya pada pertanyaan pertama.


Pertanyaan kelima:
"Makeup kamu udah berapa gudang sih? Emangnya muka kamu jadi kaya porselen?"

Jawaban saya:
Aduh, plis deh, jangan pusing-pusing ngitung makeup saya. Saya aja males. Urusan inventarisasi makeup itu saya sudah bayar pegawai sendiri.

Dan yup, kamu kok tau sih *jawil dagu*, kalau muka saya udah kaya porselen aja saking mulusnya? Kamu stalking saya yaaa? Nge-fens ya? Ngefeennsss??

Ah...jadi malu saya.


Pertanyaan keenam:
"Arum, kamu boros sekali. Pasti setelah nikah kamu hambur-hamburin duit suami."

Jawaban saya:
Rrrr...sebenernya saya nggak punya jawaban sih, soalnya inikan bukan pertanyaan, lebih kepada pernyataan yang kurang bisa dipertanggungjawabkan, soalnya datanya kurang. Menurut saya untuk bisa menyebut saya boros, seseorang harus punya data valid berupa:
  1. Data penghasilan
    Yang bisa dibuktikan dengan slip gaji bulanan, kuitansi penerimaan uang, buku tabungan atau rekening koran dari semua rekening yang saya punya, dan bukti-bukti valid dan resmi lainnya.
  2. Data pengeluaran
    Yang bisa dibuktikan dengan nota-nota/invoice bukti pembayaran, salinan dari semua cek yang saya keluarkan, struk ATM, buku tabungan, dan masih banyak lagi
  3. Data hutang-piutang
    Bukti-bukti perjanjian hutang-piutang, buku pencatatan kredit, surat-surat penagihan, perhitungan bunga, dan masih banyak lagi.
  4. Data pendukung
    Mungkin bisa melalui narasumber terpercaya. Misalnya: pemilik warung depan rumah yang saya hutangi minyak goreng dua hari yang  lalu, teman saya yang saya suruh nemenin saya shoping ke Paris bulan lalu, pemilik toko-toko perhiasan dan batu mulia langganan saya, disainer kenamaan yang biasa saya suruh bikin kemeja dan rok kerja saya, salon langganan, pet shop langganan, tukang siomay keliling langganan, dan narasumber-narasumber lain yang tak terbatas
  5. Sumber-sumber lain yang tidak terpikirkan oleh saya.
    Rrrr...dukun mungkin, untuk menerawang kondisi keuangan saya?
Setau saya sih segala slip gaji, catatan hutang-piutang, dan nota-nota yang material masih tersimpan aman di brankas saya. Dan narasumber-narasumber terpercaya sudah saya sogok dengan sejumlah uang tutup mulut. Jadi saya merasa aman. Aneh aja kalau masih ada yang bisa membongkar keborosan saya. Kamu juara sekali. Dukunmu siapa?

Terus pas saya tanyakan ke mas calon suami, "gimana kalau aku hambur-hamburin uang kamu?", sambil saya perlihatkan pertanyaan diatas dari sumbernya langsung, dia cuma senyum. Lha dia kan kerja untuk saya, untuk kebahagiaan saya, untuk urusan saya, bukan untuk kamu, atau kamu, atau kamu, atau kamu.

Ah...cintaku. Mumumumu...


Bhihihik...udah ah. Jangan pada diambil ati sih, cuma bercanda. Cuma ngungkapin pikiran iseng, daripada nyangkut dan bikin susah pup.

Monday, August 5, 2013

Urip ki Mbok Digawe Selow to, Broooo....

Ada seorang teman saya yang punya kebiasaan buruk. Suka memburu-mburu. Bukan suka terburu-buru lho ya. Tapi suka menyuruh orang untuk buru-buru. Iya, saya akui orangnya memang epektip, episien, dan sangat bisa diandalkan dalam mengatasi masalah tanpa masalah *orangnya beneran kerja di pegadaian*. Tapi dalam beberapa (sering sih) situasi, diburu-buru itu sangat nggriseni. Bikin risih.

Tadi dia datang ke rumah saya bawa nasi, ayam, dan kangkung seporsi. Maksudnya dia numpang makan gitu di rumah saya, bukannya mbeliin saya makanan.

Eh...tetiba saya jadi ikutan laperrr. Saya memang belum makan dari siang plus lagi nggak masak sih. Bahkan saya nggak masak nasi juga.

Saya: "jadi laper nih.."
Dia: "beli makanan sana, gih"
Saya masih mager, habis update blog sebelah. Masih tele-tele sambil blogwalking.

Dia: "sana cepetaannn!!!!"
Saya: *mengerutkan kening ke arahnya* *liat leptop lagi* *balesin komen*

3 menit kemudian.
Dia: "ndang belio makan!!!"

Saya: "KENAPA SIH APA-APA MESTI BURU-BURU KAYA BESOK MATI AJA? LAGIAN SUKA-SUKA AKU DONG MAU MAKAN KAPAN. WONG PERUT JUGA PERUTKU. DUIT BUAT MAKAN JUGA DUITKU. BAHKAN YA, INI RUMAHKU HELLOOOOOOO!!!!"

Nyolot. Super nyolot.

FYI, kejadian diatas terjadi sekitaran 10 menit yang lalu. Post ini saya tulis di warung sate deket rumah. Saya makan di tempat. Males pulang --".

Sunday, August 4, 2013

Nggak Mau Latah Aja, Bukan Semata-mata Karena Saya Kepengen Berbeda

Saya nggak suka Despicable Me 2 :|

Jujur aja deh ya. Saya mau dirajam sama penggemar Minions juga nggak papa. Saya nonton Despicable Me 2 di XXI sama Upik. Upik ini temen saya yang kayaknya agak-agak mirip saya kalau soal beginian. Awalnya kami semangat banget, soalnya Tetek (temen saya yang lain) dan dek Bubu (adek saya, muka adek saya bisa dilihat di blognya Popon) koar-koar menggebu-gebu kalau film itu lucuk banget. Terus di twitter juga semacam terjadi kehebohan oleh Minions. Belum di blog, para beauty blogger rame-rame bikin look minions (yang ini saya suka, lucu beneraannn, terutama Minion ala Merilla dan Vindy).

Di dalem XXI, saya dan Upik kegaringan. Ya ada lah, ketawanya. Beberapa scene ada yang lucu. Tapi jujur yah, bagi kami film itu biasa aja. Padahal ekspektasi kami udah lumayan tinggi, mengingat teman-teman pada promosi menggebu-gebu. Nggak kaya yang diceritakan teman-teman, bahwa mereka tertawa sampai perut sakit, dan bahwa Minions lucu banget, saya dan Upik tertawa sewajarnya aja.

Intinya, kami sedikit menyesal buang uang Rp 50 000,- untuk film yang nggak terlalu oke. Ini kategori film yang oke-nya nyewa DVD aja ditonton rame-rame di kos Ndok (teman kami juga yang kos-kosannya sering dipakai untuk tempat nonton film, pinjem kamar buat pacaran, ataupun sekedar mampir untuk pakai toiletnya. Iya, semacam bilik cinta merangkap kamar mandi umum di daerah Selokan Mataram, Yogyakarta).

Jadi saat suatu sesi nongkrong, saat temen-temen saya masih anget menirukan aksi Papoy, saya dan Upik bilang aja kalau film-nya biasa aja, nggak sebagus itu deh. Lalu kami dihujat. "Aaahhh...selera humor kalian jeleeekkkk", dan masih banyak hujatan lainnya.

Saya juga nggak suka make up dan riasan ala Korea yang sekarang lagi booming. Bukannya mau sok berbeda, tapi memang ada alasannya kok. Nih ya alesannya:
  1. Saya lebih suka pekejing kosmetik model Sleek, NYX, PAC, Bobby Brown, MAC, Caring Colour, dan Nars yang simpel tapi elegan daripada pekejing unyu ribet model Etude, Skinfood, Tony Molly dan sebangsanya.
  2. Alis saya ber-arch, dan saya suka. Nggak minat deh bikin alis saya lurus. Alis melengkung itu bikin saya kalau marah meyakinkan. Cukup angkat satu alis, lari deh preman se-terminal nggiwangan.

     
  3. Menurut saya kantong mata itu tidak sedap dipandang. Kadang saya lihat artis Korea berkantung mata, dan dia cantik. Tapi alih-alih pengen bikin kantung mata, saya malah berpikir kalau si artis pasti lebih cantik tanpa kantung mata.
  4. Saya nggak demen make up mata yang natural ala Korea. Saya lebih suka main warna eyeshadow, atau pakai super bold eyeshadow.
  5. Kulit saya nggak putih, begitu juga kulit sebagian besar orang Indonesia. Trend Korea ini bikin banyak cewek tergila-gila kulit putih, dan rrr...kok saya nggak suka ya? Mbok plis lah, kulit warna apa aja juga cantik kok. Iya, saya akui deh kulit putih itu cantik. Begitu juga dengan kulit kuning, kulit sawo matang, dan kulit gelap. Semua harus disyukuri.
Nah, ada alesannya kan? Bukan semata-mata karena saya kepengen berbeda.
***

Saya tahu sih, soal begituan itu masalah selera. Tapi kok, mbuh ya, terkadang saya berpikir, kalau sesuatu itu udah dibilang bagus sama banyak orang (atau sedikit orang yang berpengaruh), maka orang-orang lain bakalan latah bilang itu bagus. 

Disitulah letak kekuatan promosi. Misal perusahaan launching produk baru gitu, mereka bayar aja ke blogger-blogger untuk rame-rame bilang bagus, dan voila, baguslah produk itu. FYI, saya pernah kok dibayar dua juta rupiah untuk bilang kalau suatu produk bagus di blog sebelah, padahal senyatanya produk itu biasa banget. Cuma satu produk kok, habis itu saya insyaf, uang haram itu namanya. 

Produk apakah gerangan? LA-HA-CIA :D.

Dan karena saya tahu soal "kekuatan promosi", makanya saya mencoba objektif dalam menilai banyak hal. Yah contoh kecilnya, saya tetep bilang kalau BB cream Garnier, MUA Undressed Eyeshadow Palette dan Foundie Mustika Ratu Tasik Kemuning itu jelek, walaupun banyak yang berpendapat kalau itu bagus. 

Jangan salah sangka, saya bukannya mau bilang kalau blogger yang bilang tiga barang tersebut pembohong. Blogger pembohong di Indonesia ini cuma satu kok. Mau tahu siapa blogger paling bullshit se-Indonesia? Noh klik ini noh... Yang lain selain yang saya link tadi itu jujur, lurus, putih, bersih, suci, murni semua. Saya sih percaya, para blogger yang mereview bagus tiga produk itu tulus dari hati. Yang saya maksud, saya cuma berusaha objektif, meskipun bagus di (banyak) orang lain, barang tersebut nggak bagus di saya.

Ada juga barang yang saya beneran suka, padahal orang lain ramai-ramai nggak suka. Misalnya Etude CC cream dan kucing kampung. Saya cinta banget sama kucing kampung, lebih cinta dari kucing ras. Ya pada dasarnya saya senang dengan semua yang berbulu sih. Dan kucing kampung memang lebih kasihan dan lebih minta dipelihara daripada kucing ras.

Terus soal menilai orang juga. Beberapa kali saya menemui, orang-orang yang dibilang menyebalkan atau nggak asik oleh banyak orang, malah cocok sama saya. Aeh..pembaca, ada yang merasa cocok sama saya? Kata orang situ menyebalkan lho. Atau ketika orang-orang ramai-ramai suka sama seseorang, saya malah menemukan (menemukan lho ya, bukan merasakan) hal busuk tentang dirinya. Pembaca, ada yang disukai banyak orang? Tau nggak? Situ busuk. Makanya saya nggak percaya kekuatan insting, karena insting juga kadang-kadang terpengaruh oleh opini mayoritas. Saya baru akan nggak suka sama orang kalau memang orang tersebut sudah merugikan atau membuat saya nggak nyaman. Bukan karena saya ikut arus, banyak orang nggak suka kemudian saya ikut nggak suka.

Jadilah saya ini orang aneh dimana-mana. Ketika banyak orang bilang sesuatu bagus, kalau saya nggak suka, ya peduli setan dengan pendapat banyak orang. Sesuatu itu tetep aja jelek di mata saya. Kalau banyak orang ramai-ramai menghujat suatu kasus yang booming, sementara menurut saya sesuatu yang dihujat itu sebenernya baik, ya lagi-lagi peduli setan sama banyak orang. Mungkin itu juga kali yang bikin banyak orang yang gampang nyalahin saya?

***

Saya bukannya mau sok anti mainstream yah. Saya tetep suka film Iron Man, buku Harry Potter, Mascara Max Factor, Nars Blush On, produk-produk The Body Shop, shoping, cowok seksi, dan yang jelas saya masih suka makan nasi seperti manusia pada umumnya. Kalau saya suatu saat berniat mau berbeda dalam segala hal, saya akan makan beling, biar beda!

Saya cuma berusaha menyinkronkan antara yang ada dipikiran dan hati saya, dengan ucapan, tindakan, dan tulisan saya. Saya cuma berusaha berpendapat secara independen, tanpa ditekan atau dipengaruhi oleh pendapat mayoritas (lain ya kalau dipengaruhi oleh uang dua juta rupiah *meringis miris* *rasanya pengen menghapus post yang bersangkutan*).

Ya meskipun sikap saya ini menyebalkan sih bagi banyak orang. Terutama orang-orang yang mana pendapatnya nggak saya setujui, atau orang-orang yang mana ajakannya nggak saya penuhi.

Ngomong-ngomong soal sikap, hari ini saya malas mandi ah. #sikap.

Saturday, August 3, 2013

RIP Blackberry

Blackberry Saya akhirnya mati. LCD-nya blank!

Nyahahahahahahhaaaaa.... RIP Blackberry.

Akhirnya kegalauan saya terjawab sudah. Saya sempet galau mau menonaktifkan BB atau enggak. Selama ini, saya kan udah ada android, dan saya mengaktifkan BB semata demi urusan pekerjaan. Tapi sekarang kan saya udah berhenti kerja (HOREEE!! eh sori salah harusnya emotikon: ":(" ). Jadi sebenernya adalah pemborosan ya, ngaktifin dua smartphone seperti itu.

~ kata teman saya, saya dan smartphone-smartphone saya itu adalah: smartphone with not-so-smart people. Blah!

Tapi matinya BB saya ini membuat saya otomatis terasingkan dari segala gosip perkantoran. Iya, saya memang udah nggak kerja. Tapi dunia pergosipan tetep jalan dan tetep haruusss di-update kan ya? Semacam si Anu nyeribot klien si Anu, si Anu akhirnya kawin juga dan tebak sama siapa? Yup sama si Anu. Terus si Anu ternyata ambil job di tempat lain dan ketahuan. Duh, sepilah dunia saya tanpa begituan. Terus lagi, sejak BB saya mati, saya jadi semacam nggak pernah kontak sama Dilla, yang gosipnya sempet pacaran 2 hari kemudian putus tapi saya nggak dikasih laporan *kabur*.

Saya agak takut nih otak saya jadi tumpul. Bukannya selama ini otak saya tajam lho ya. Cuma kalau nggak dipakai gini bisa-bisa otak saya yang tadinya pun nggak begitu tajam kemudian mengecil dan menghilang (__"). Sigh!

Saya berhenti kerja soalnya saya udah mau dipingit, udah mendekati hari H kawinan saya. Tapi belum kok, saat ini sih saya masih di Jogja. Membenahi beberapa urusan yang belum beres. Seperti packing, urusan lingkungan (RT, Gereja, dll), urusan kebaya nikahan, dan masih banyak lagi. Sepertinya saya juga bakal bolak-balik ke Jogja juga sih nantinya. Tapi kita lihat saja nanti.

Jadi, yang merasa kehilangan saya karena selama ini kita kontak hanya lewat BBM, plis lah, kasih nomer HP kalian ke saya. Kirim aja ke msekararum@gmail.com. Syukur-syukur kalau kalian punya Line ID atau Whatzup gitu, biar komunikasi, silaturahmi, dan pergosipan tetap berjalan lancar.

Makaseh semua :*.

Muka Situ Udah Yang Paling Bener, Mas?

"ANJRIT!!! NAJEESSS!!!!"

Itu teriakan salah satu teman saya yang lagi asik sendiri di depan leptopnya, pada saat rutinitas nongkrong rame-rame.

Ada apa sih? Oalah...ternyata dia itu lagi mbukak blog saya ini, dan kemudian baca tagline baru blog saya: "This blog is dedicated to Sekararum Lovers", dan kemudian saya di-unfollow. Huahahahahhahaasyuuu.

Cerita yang mau saya sampaikan nggak ada hubungannya sih dengan cerita pembuka di atas. Tapi, ada hubungannya dengan teman-teman saya itu. 

Kalian, pasti punya dong teman-teman ter-klik? Teman yang nggak berubah status pertemanannya walaupun dunia di sekitar sudah berubah, walaupun status kawin-tidak kawin berubah, walaupun pacar berubah, walaupun pekerjaan berubah, walaupun hobi berubah? 

Saya punya, dan sudah sekitaran 10 tahun saya bersama mereka. Dari saya yang bahkan sisir aja musti pinjem kamar tetangga kos, sampai sekarang saya yang kalau nggak pakai night cream bakalan mimpi buruk, kami teteeeppp berteman dan teteeep asik.

***

Ceritanya, salah seorang teman saya sebut saja Kumbang bukan nama sebenarnya, punya teman yang namanya Adrian semoga ini nama sebenarnya (HAH!). Saya nggak terlalu kenal sih sama Adrian, cuma tahu dia itu temen sekantornya Kumbang. Si Adrian ini tertarik dengan teman saya, teman dari komunitas lain sih, kumbang juga nggak kenal, yang bernama Bunga bukan nama sebenarnya.

Adrian bisa tertarik sama Bunga, karena Adrian sering melihat foto Bunga. Kok bisa? Iya, ini berhubungan dengan hobi si Bunga. Saya nggak bisa bilang hobinya apaan. Pokoknya si Bunga ini hobinya nulis di salah satu media sosial yang lagi hip. Saya sungguh nggak bisa bilang hobinya apa. Tapi pokoknya di media Sosial itu bunga sering menampilkan mukanya hari ini. Saya bener-bener nggak bisa bilang hobi Bunga apa. Tapi bunga ini sering diajak kerjasama sama Online Shop atau perusahaan tertentu untuk memberikan ulasan mengenai barang yang mereka jual atau produksi. Tapi, please, saya nggak bisa bilang hobi bunga ini apa.

Oke, sekian soal hobi Bunga. Mari lanjut ke masalah sebenarnya.

Singkat kata, saya dan Kumbang, ATAS PERMINTAAN ADRIAN, mencoba memfasilitasi pertemuan mereka berdua. Saya menyampaikan ke Bunga kalau ada temen kantornya temen saya yang mau kenalan. Nah, si Bunga ini mau. Jadilah kemudian kami berempat ketemuan. Tema pertemuan yang saya buat: Bukber alias Buka Puasa Bersama, karena ini masih bulan puasa. Dimana? Di Warung makan Babi yang menunya juga ada yang non Babi-nya biar yang nggak makan Babi bisa tetep makan hauhauhauhauuuu... Untuk menyesuaikan tema bukber, jam juga sengaja saya atur jam buka puasa. Kenapa si Warung babi? Ya biar sepi. Jam segitu warung makan yang halal rame kaleee, penuh orang buka beneran.

Kami ketemuan dan ngobrol asik. Teman saya si Bunga, bener-bener top pokoknya. Sosialita sejati deh! Kemampuan bersosialisasinya tinggi. Pedenya juara. Sama siapapun bisa nyambung dan asik. Nggak ada yang salah dengan pertemuan itu. Semua asik. Bahkan Adrian dan Bunga juga terlibat obrolan menyenangkan tentang pekerjaan, karena ternyata mereka kebetulan satu jurusan waktu kuliah. Beda kampus beda angkatan ya tapi.

Setelah pertemuan hari itu, ya sudah, saya kembali ke kegiatan saya biasanya. Kalau di rutinitas sih memang saya jarang komunikasi sama Bunga dan Kumbang. Ya sering, tapi nggak tiap hari lah. 

Sekitaran seminggu kemudian, adalah jatah nongkrong saya bersama teman-teman saya. Ternyata si Kumbang dateng bareng Adrian. Saya tanya ke Adrian: "Gimana, udah kontak lagi sama Bunga?" 

~ FYI, kalau ada yang merasa saya comel karena nanya beginian, saya memang merasa berhak comel ya. Itu tandanya saya peduli. Kalau nggak mau saya comelin, ya udah nggak usah deket-deket saya. Kalau nggak deket saya beneran luweh kok, nggak bakal comel.

Dan dijawab Adrian: "Nggak ah. Males."
Kumbang: "Dih..kenapa?"
Adrian: "Ya males gitu deh.."
Kumbang: "Lha? Kemaren kayaknya ngobrolnya asik, nyambung gitu? Ya temenan aja kali tetep jalan. Kan mayan nambah temen."
Adrian: "Mmm...nggak deh"
Saya nyahut: "Kenapa sih?" 

Penasaran gitu ceritanya saya. Ya siapa tau si Bunga ini punya hobi fatal yang sampe orang males temenan sama dia, yang saya belum tahu. Semacam hobi meperin upil ke muka orang lain dan sebangsanya.

Nah bagian ini inti permasalahannya:

"Ternyata Bunga agak gemuk."

Dan saya spontan otomateeiis sebelum bisa mikir langsung nyeletuk: "Koyo raimu bener wae, Mas." (Kaya mukamu juga bener, Mas)

Ziiiinggg....

Semua terdiam dan melihat ke arah saya.

"Ape?!" Tanya saya.

Kumbang mbisikin saya: "Nggak sopan, tahu nggak?"

Saya, mbisikin nggak niat. (Maksudnya: mbisikin tapi disengaja biar bisikannya kedengeran ke seantero jagat raya): "Ya dia juga nggak sopan. Buat apa aku sopan sama dia?!"

Setelah itu suasana antara saya dan Adrian jadi nggak enakan. Ya maap ya, bukan maksud saya jadi pembela ketemanan, membela yang teman. Tapiii, saya NGGAK SUKA sama komentar si Adrian. Oke lah, orang bolehlah punya kriteria fisik untuk menentukan mau naksir sama si ini, mau kawin sama si itu, mau bobok sama si anu. Tapi ya tapiiiii, masa sih mau temenan aja pake kriteria fisik? Dan kalau yang punya kriteria itu ganteng seganteng Adam Levine mah serah deh ya. Lha ini, muka juga pas-pasan aja sok-sokan pilih-pilih temen, nggak mau temenan sama yang beratnya diatas angka tertentu. Cih. Cih! CIH!!

Karena situasi nggak enak, mendadak Adrian ada janjian lain gitu dan pulang duluan. Setelah Adrian pergi, salah seorang teman saya ketawa ngakak dan ngelempar serbet ke muka saya. Lalu meledaklah suatu diskusi. 

Beberapa teman sih bilang kalau cowok itu memang mahluk visual. Kalau menilai sesuatu ya dari visualnya dulu. Kalau perasaan secara visual udah nggak enak, ya udah males nerusinnya. Sudah kodratnya begitu. Anehnya kebanyakan yang bilang ini tuh tewe-tewe.

Tapi saya dan beberapa teman lain nggak setuju. (Kebetulan yang sepakat sama saya malah towo-towo). Sekarang begini, kalau teori teman saya itu bener, ya kasian banget dong laki-laki. Dia bakalan tersiksa banget setiap harinya diharuskan bergaul di kantor, di rumah, dan dimanapun dengan orang-orang, karena tentunya nggak semua orang itu memenuhi standar kriteria fisik dia. Terus dalam beberapa kasus, kasian banget dong laki-laki tersiksa kalau lagi ngaca. 

Soal Adrian, ya biarin lah Adrian ke laut aja sono. Toh saya nggak minat nambah temen yang sepicik itu. Tapi saya agak menyayangkan pendapat tewe-tewe, yang mewajarkan kalau ada laki-laki yang nggak mau temenan sama perempuan, karena perempuan tersebut kurang menarik secara visual di matanya. Duh.. Piye ikih ndonyane? 

Pantesan jaman sekarang makin banyak aja cewek yang nggak pede. Seperti juga makin banyak krim pemutih yang beredar dipasaran, secara trend sekarang itu yang putih dinilai lebih menarik secara visual (ini saya kok nggak setuju ya? Lha wong kulit saya sawo matang tapi saya itu menarik kok. Beberapa teman saya ada yang kulitnya item tapi cantik. Beberapa ras ada yang memang kodratnya kulitnya nggak putih, tapi bukan berarti di ras itu nggak ada yang cantik kan?)

Oh iya, si Bunga teman saya ini cantik kok. Dan semok padat berisi. Buktinya banyak yang ngefans sama dia, termasuk saya. Terus juga, saya sih udah males nggak pernah lagi ya calling-callingan sama Adrian itu. Ilfeel.

Thursday, August 1, 2013

Kemampuan Menulis Mana, Kemampuan Menulis?

Saya mau konfirmasi.

KONFIRMASIK.

Kemaren, saya meratapi nasib. Dan bisa dibaca di post yang ini. Itu yah, sebenernya saya bukan meratapi kalau blog ini sepi pengunjung. Rame kok, blog ini. Suer. Udah kaya pasar hewan aja ramenya. Yang saya ratapi adalah kemampuan menulis saya.

Sejak dulu, saya itu seneng banget nulis. Dari jaman SD saya udah punya diary. Kalau anak SD pada umumnya diary-nya isinya biodata dan kata mutiara dari "sahabat-sahabatkuwh", diary saya isinya beneran jurnal. Saya menuliskan dengan rutin aktivitas bahkan perasaan saya sehari-hari.

SMP saya sempet berhenti nulis diary. Tapi saya mulai coba-coba bikin-bikin cerpen dan puisi alay, yang kemudian saya kirim ke majalah anak-anak atau ke surat kabar lokal yang kalau minggu ada halaman khusus untuk anak-anak.

SMA saya mulai jarang kirim-kirim cerpen dan puisi, tapi mulai nyoba bikin artikel yang bukan puisi dan bukan cerpen. Yah semacam begini-begini ini, tapi lebih bagus dan analisis sosialnya lebih mendalam lah ya. Bahkan kalau saya lihat-lihat, tulisan saya jaman SMA itu adalah tulisan-tulisan saya yang terbaik. Yang sekarang ini sungguh menurun drastis. Oh iya, jaman SMA ini saya juga punya blog di Yahoo. Tapi cuma kaya diary aja sih, cuma yang ini diketik. Heheh..

Pas kuliah, mulai ngetrend media sosial yang namanya Friendster. Di friendster itu ada fitur untuk ngeblog-nya. Mulailah saya ngeblog di sana. Ya jurnal pribadi aja. Adakala isinya mutu, tapi nggak jarang cuma cerita-cerita gokil. Di Friendster saya mulai merasakan jurnal pribadi saya dibaca orang lain. Nggak sebanyak sekarang sih, tapi menurut saya udah lumayan lah untuk ukuran jaman itu, jaman blogging belum ngetrend.

Oh iya, pas saya ketemu komunitas beauty blogger Jogja, salah satu dari mereka mengenali tulisan saya. Ternyata dia itu pembaca blog saya jaman saya masih ngeblog di Friendster x).

Kemudian belum lama ini lah saya kenalan sama make up. Pokoknya saya kenal make up itu cuma selang 3 bulanan lah, dengan lahirnya blog Racun Warna-Warni. Jadi beauty blog saya itu benar-benar dirintis dari awal, dari saya belum ngeh soal make up. Blog saya itu juga menjadi ajang belajar make up buat saya. Dan nggak disangka, yang baca banyak ih. Saya bener-bener belajar make up di sana. Dari hari kehari muka saya semakin nggenah, dan foto-foto saya semakin baik. Selain itu, saya juga belajar menyikapi haters, belajar menahan diri karena selain hal-hal menyenangkan, juga terjadi berbagai hal-hal yang menyebalkan di sono. Yang saya malas ceritakan sekarang karena akan OOT.

Tapi sepertinya saya begitu tenggelam dalam beauty blog. Pada tahu lah ya, kalau beauty blog itu lebih banyak main difoto. Saya mbacot apa aja terserah juga bakalan banyak yang baca, asalkan produk yang saya ulas itu banyak peminatnya, asalkan fotonya informatif, asalkan muka saya cantik yang mana itu nggak perlu usaha lebih karena saya memang naturaly born beauty, asalkan asalkan dan asalkan yang lainnya yang intinya kekuatan beauty blog bukan pada tulisan saya.

Tambah lama, saya tambah ngaco nulisnya. Tadinya saya orangnya alergi typo. Alergi sama alur yang nggak jelas, alergi sama bahasa yang aneh, dan alergi sama tanda baca dan spasi yang nggak pas. Sekarang sensitifitas saya terhadap hal-hal kaya gitu sepertinya udah berkurang.

Itu belum apa-apa. Yang lebih saya rasakan lagi, saya rasanya kok semacam kehilangan gaya tulisan saya yang dulu. Menurut saya, dulu tulisan saya lebih menarik dan lebih enak dibaca. Tapi belakangan, bahkan saya sendiripun males banget baca-baca tulisan saya lagi.

Makanya saya berniat banget mengaktifkan blog ini. Yang tadinya cuma ajang galau, ajang menumpahkan segala perasaan dan pemikiran, dari yang keren sampai yang norak tapi kebanyakan norak, sekarang mau lebih saya tata. Yah, intinya saya nggak pengen cuma latihan make up, tapi juga pengen mulai membiasakan diri lagi untuk menulis.

Entah ada yang baca atau enggak, saya pengen menulis dulu, dengan baik, dengan menarik.

Jadi yang saya ratapi adalah ke(tidak)mampuan menulis saya, bukan ke(tidak)payuan blog ini. Dong, ra?!

Meratapi nasib

Sekarang bayangin deh. Wong saya aja males baca tulisan saya sendiri di blog yang ini. Apalagi orang lain..

*nyalain korek*bakar blog*

*duduk*madep tembok*nangis*

T.T

Konfirmasi postingan ini ada di sini --> (KLIK)

Wednesday, July 31, 2013

Unggah-ungguh

Terjemahan bebas ala saya sih unggah-ungguh itu sopan-santun atau etiket. Unggah-ungguh ini dari bahasa Jawa. Biasanya kalau orang Jawa kan super sopan gitu. Kalau sama orang tua harus pakai bahasa khusus yang namanya Kromo Inggil, yang lebih sopan. Terus juga unggah-ungguhnya orang Jawa, kalau ada orang tua lagi duduk dan kita lewat di depannya, harus membungkuk dan ngomong, "amit, njih".

Terus kalau sama orang yang lebih tua, juga nggak punya unggah-ungguh namanya kalau manggil langsung sebut nama. Harus pakai embel-embel mbak, mas, paklik, bulik, bu, pak, pakde, bude, mbah, dan lain-lain.

Unggah-ungguh masing-masing daerah tentunya berbeda. Misalnya kalau di Jawa itu, kalau disuguh makanan, kita habiskan sampai tandas, itu nggak sopan namanya. Lain halnya dengan di daerah lain (saya lupa namanya), kalau makanan yang disuguhkan nggak dihabiskan, namanya nggak menghargai. Kalau soal makanan, saya sendiri (ini mewakili pribadi saya, bukan saya sebagai orang Jawa), akan sangat senang kalau ada yang menghabiskan makanan yang saya suguhkan, apalagi kalau saya masak sendiri. Bangga gitu lho rasanya.

Jangankan per-daerah, unggah-ungguh keluarga satu dengan keluarga lainnya pun bisa berbeda-beda lho. Meski sama-sama keluarga Jawa, belum tentu unggah-ungguhnya sama. 

Persoalan unggah-ungguh ini sering susah bagi saya :D. Eh sebelumnya, saya ini orang Jawa lho. Jawa tulen banget totok malah. Maksudnya darah keluarga saya itu jawir sekale. Tapi kalau dipikir-pikir lagi yang saya warisi cuma darah aja. Unggah-ungguh enggak.

Banyak hal sih yang ternyata sebagai orang Jawa sudah saya lupakan. Karena pergaulan mungkin ya? Eh..ya bukan maksud saya menyalahkan teman-teman sepergaulan saya atas kelakuan minus saya. Cuma, karena kebiasaan saya sehari-hari yang rasanya semakin menjauh dari etiket atau unggah-ungguh tersebut, karena orang-orang di sekitar saya yang setiap harinya berhubungan dengan saya pun semacam yang kurang begitu memperhatikan unggah-ungguh secara detil. Yang praktis aja gitu lho. Pokmen lancar cespleng ra mang munduk-munduk.

Tapi itu nggak bagus juga sih. Apalagi saat ini saya dalam proses mau masuk ke keluarga baru, yakni keluarganya calon suami saya, yang juga punya unggah-ungguh yang tinggi.

Beberapa hal yang tadinya kacau dan sekarang sedang saya coba perbaiki antara lain:

  • Ucapan Terima Kasih

    Saya seriiing biyanget kelupaan soal bilang, "terima kasih". Padahal itu bukan suatu hal yang berat dan bikin ribet. Hanya saja masalah kebiasaan sih ya.

    Untuk hal-hal kecil, eh...ya bukan kecil sih, tapi hal-hal yang terlalu biasa yang ada di rutinitas harian, biasanya saya cenderung abai bilang "terima kasih". Misal minta tolong ambilin anu. Setelah diambilin ya sudah senyum aja. Atau di tempat parkir, setelah pak Parkir bantuin ngeluarin motor/mobil, saya juga biasanya abai bilang "terima kasih".

    Kalau biasanya antara saya dan teman-teman di keseharian saya sih, hal seperti itu memang cenderung diabaikan. Ya tolong-menolong aja secara wajar. Kalau ada yang berbuat baik, ya akan dibalas dengan berbuat baik juga. Nggak ada kata-kata atau ucapan apalah yang berbunga-bunga.

    Tapi repot ketika saya memasuki lingkungan baru. Bisa-bisa saya dicap nggak punya unggah-ungguh itu tadi. Makanya sekarang saya membiasakan bilang terimakasih ke siapapun yang menolong saya sekecil apapun, termasuk pak Parkir.

    Dan setelah terbiasa, nggak susah sih. Malah menyenangkan rasanya bilang terima kasih ke mereka yang biasanya nggak mendapat ucapan terima kasih untuk kerja mereka.

  • Minta Tolong Berkali-kali

    Ini nih, susah. Tapi masih bisa lah dilakukan. Saya ini suka malas untuk mengulang-ulang menawarkan bantuan. Misalnya nih:

    Saya: "Anumu abis ya? Nih pakai punyaku aja."
    Si Anu: "Eh nggak usah. Nggak papa."
    Saya: "Oke." Ninggalin si Anu yang kerepotan tapi nggak mau dibantu. Lha katanya nggak papa?

    Ya udah saya tinggal. Males juga kan kalau harus: "Udaaahh nggak papa. nih nih.." nyorongin anu ke muka si Anu.

    Tapi yang begitu tentu saja nggak bisa dilakukan kalau udah berhubungan dengan orang tua, terutama keluarga mas Pacar. Bayangin ya kalau saya lagi makan di rumah mas Pacar.

    Saya: "Saya bantu beresin piringnya ya, Bulik"
    Si Bulik: "Udah, nggak usah, mbak. Nggak papa. Nggak usah repot-repot."

    Bayangkan kalau saya seperti ini: "Oke" Lalu duduk diam kaya nyonya besar mengawasi si Bulik beres-beres meja makan. Bakalan dipecat jadi calon keluarga lah, saya.

    Akan lebih baiknya kalau saya: "Nggak repot kok, Buliiikk. Nggak papa. Sungguh. Udah biasa mah saya dirumah. Beres-beres, cuci piring, benerin genteng, macul, ngarit, mandiin kebo.."

    Tapi ya untuk hal ini, cuma bisa saya ubah kalau saya sedang menghadapi orang tua. Kalau sama temen saya masih susah kalau disuruh berkali-kali menawarkan bantuan. Ya mbok kalau butuh nggak usah jaim kenapa? :D

  • Panggilan-panggilan etis

    Kalau panggilan bude, bu, pak, pakde sih masih oke. Saya masih bisa. Tapi kalau yang mbak, mas, om, tante, saya kadang susah banget membiasakan. Keluarga besar saya udah agak rancu soal panggilan begituan. Saya punya kakak yang masih SMA, ceritanya bisa jadi kakak saya karena dia anaknya pakde saya. Ya masa mau dipanggil embak? Aneh aja kan?

    Terus di keluarga pacar saya, entah bagaimana, istri-istri om-nya mas pacar itu dipanggil "mbak". Dan mereka malah risih gitu dipanggil "tante". Keliatan tuwir katanya. Ya sudah toh saya manut aja ngikut-ngikut.

    Jadi semacam udah kabur gitu mana yang beneran mbak saya, mana yang tante saya, mana yang adek saya. Ya untuk mempermudah kehidupan pada akhirnya untuk yang sepantaran sepupu-sepupu, mau lebih tua jauh sekalipun, biasanya dipanggil nama aja. Kalau untuk yang agak lebih tua, misal istri si om, atau yang statusnya sepupu tapi usianya terpaut terlalu jauh (ada sepupu saya yang umurnya 40-an) barulah dipanggil mbak atau mas.

    Di lingkungan pergaulan dan kerja saya juga, rata-rata pada minta dipanggil nama aja. Bahkan atasan langsung saya juga, minta dipanggil nama aja. Kayaknya memang ya unggah-ungguhnya begitu di sini, sehingga menjadi kebiasaan.

    Tadinya saya terbiasa memanggil "Mbak" dan "Mas" ke orang-orang yang belum saya kenal dekat, baik yang lebih tua maupun sepantaran. Lama-lama kebiasaan itu terkikis menghilang lantaran kebiasaan baru di lingkungan yang sekarang. Apalagi di dunia maya begini, yang nggak jelas si Ina umurnya berapa, si Anu udah setua apa.

    Malah beberapa kali saya menemui orang tersinggung karena saya panggil "mbak". Iya, "mbak". Kalau "mas" malah saya belum pernah tuh nemuin yang tersinggung :D. Mungkin cewek memang cenderung lebih sensi soal umur ya? Terus entah gimana, saya akhirnya merasa lebih nyaman dan nggak ada batasan aja kalau memanggil teman dengan langsung nama. Kalau pakai "mbak" gitu malah berasa berjarak, dan biasanya susah nyantai deh sampai besok-besoknya juga :D.

    Tapi ya hal itu ternyata nggak bisa diterapkan dimana-mana. Ada juga orang-orang yang masih menjujung tinggi yang namanya unggah-ungguh. Yang berasa nggak sopan kalau manggil yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya dengan langsung nama. Ya iya juga sih, dibeberapa situasi. Ya misal, kalau atasan saya nggak minta dipanggil nama langsung, ya saya juga sesuai unggah-ungguh tetep manggil "mbak" dong. Secara dia atasan saya plus lebih tua jauh pula.

    Makanya saya membiasakan diri untuk menggunakan sapaan yang sopan. Dimulai dari sapaan "mbak" untuk readers dan para komentator di blog sebelah dulu ^^.

  • Minta maaf berkali-kali

    Ini juga, susah. Dan memang sayanya juga males sih kalau disuruh mengubah. Setiap orang pernah salah. Saya pernah salah sama orang lain. Orang lain pernah salah sama saya. Ada yang saya salah tapi saya malas menyelesaikan, ya udah nggantung aja gitu lalu terlupakan tapi juga nggak damai. Ada yang orang lain salah tapi juga nggak minta maaf, ya sudah nggantung juga.

    Tapi ada saat orang lain salah, minta maaf dan membicarakan solusinya, walau hati saya masih gondok setengah mati, kalau si yang salah sudah beritikat baik meminta maaf dan mencari solusi, ya sudah toh? Saya bisa apa selain move on?

    Nah, tapi nggak semua orang kaya begitu. Ada tuh kasus saya salah, saya minta maaf, menanyakan solusi, sampai dengan menawarkan solusi ala saya, tetep aja dimusuhin dan dibahas berhari-hari. Liat-liat persoalannya lah ya, apalagi kalau persoalan sepele. Saya sih muales banget kalau harus minta-minta maaf berkali-kali. Biasanya ya cuma saya abaikan saja si orang marah-marah yang nggak bisa diapa-apakan itu.

    Kalaupun situasi sudah membaik, biasanya ya saya kadung ilfil juga sama orangnya. Males juga mau deket-deketan lagi. Ya saya biasanya sebatas menjaga hubungan baik, tapi emoh total deh deket-deket lagi. Ngeri aja kalau kejadian kaya begitu lagi, plus ya ilfil itu tadi *meringis*.

    Padahal secara unggah-ungguh tadi itu, biasanya si yang merasa disalahi akan jaim dulu sok-sokan bilang "nggak segampang itu". Harapannya ya si salah terus-terusan minta maap sampai..rrr...sampai entah kapan deh.

    Unggah-ungguhnya begitu. Tapi kalau yang ini harga diri saya nggak mengijinkan.

Eh...masih ada lagi nggak ya? Kayaknya sih masih. Banyak malah. Tapi ya gitu deh. Persoalan unggah-ungguh itu kadang bikin saya galau. Tapi saya juga belajar pelan-pelan kok untuk lebih menjadi manusia yang berunggah-ungguh :D
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...