Translate

Sunday, January 31, 2016

Surat Dari Praha

Saya jarang membahas film, karena saya memang nggak merasa mampu bikin review film. Tapi kali ini saya bukan mau me-review film. Saya nggak akan mengomentari soal akting, sinematografi, alur, dan lain sebagainya.

Beberapa hari yang lalu, saya dan suami nonton Mata Najwa. Segmen yang kami tonton saat itu membahas tentang mahasiswa-mahasiswa Indonesia jaman dahulu, yang dikirim Soekarno ke luar negri untuk belajar, namun tidak bisa pulang karena situasi politik di Indonesia pada saat itu.

Ngomong-ngomong soal orde baru, generasi saya mungkin adalah generasi yang paling akhir "ngeh" soal kekejaman Soeharto. Generasi adek saya bukan tidak tau sejarahnya loh ya, tapi kalau saya melihat sih (dari adek saya dan teman-teman sebayanya), mereka tahu tapi cuek.

Saat tragedi pemerkosaan dan pembantaian masal 1998, saya sudah SMP. Usia itu boleh dibilang masih kecil sih, tapi di usia itu saya dan (saya rasa) teman-teman sebaya saya yang lain juga sudah mengerti apa yang terjadi. Mereka pasti tahu apa yang menimpa saudara-saudara kita yang beretnis cina. Dan kalau tau nggak mungkin kan mereka nggak mencari tahu apa penyebabnya? Bagaimana kejadiannya? Awal mulanya? Dan lain-lainnya.

Oke, kembali ke "Surat Dari Praha". Sudah jadi rahasia umum kalau Soeharto merebut tahta dari tangan Soekarno bukan dengan jalan yang bersih. Banyak korban yang berjatuhan karena tragedi tersebut. Banyak orang tak bersalah mati atau diasingkan dalam peristiwa selama orde baru. Pokoknya banyak rakyat menderita, banyak terjadi pelanggaran HAM, tapi banyak yang menutup mata.

Mahasiswa-mahasiswa ini adalah sedikit dari banyaknya korban. Mereka menolak Soeharto dan orde baru, maka dari itu mereka dicabut kewarganegaraannya, sehingga tidak bisa pulang ke Indonesia. Jangankan pulang ke negara Indonesia, memasuki KBRI pun mereka diharamkan.

Hak-hak mereka dikebiri. Mereka tidak bisa pulang dan tidak bisa pula mencari penghidupan dengan layak. Mereka dipisahkan dari rumah dan orang-orang yang dicintainya. Bahkan untuk sekedar berkirim surat atau menghubungi keluarga di Indonesia pun mereka takut. Takut kalau keluarga mereka mendapat masalah, dipenjara tanpa peradilan, dibuang, atau dibunuh karena ketahuan berhubungan dengan mereka. Bahkan di Mata Najwa, diceritakan ada yang selama berpuluh-puluh tahun tidak pernah lagi mendengar suara dari istri dan anaknya.

Cobalah bayangkan, mahasiswa-mahasiswa yang dikirim oleh Soekarno tentunya adalah orang-orang yang pintar dan terpilih pada masanya. Bayangkan kalau mereka pulang kembali ke Indonesia, apa saja yang akan mereka sumbangkan untuk Indonesia? Dengan membuang mereka seperti itu, Indonesia juga kehilangan orang-orang pintar yang mungkin punya sesuatu yang lebih untuk negara ini.

Sarjana-sarjana pintar tersebut, karena nggak punya kewarganegaraan, jadi mereka nggak bisa berkerja di sektor formal. Pada film Surat Dari Praha, diceritakan seorang Sarjana Nuklir yang berkerja menjadi seorang tukang bersih-bersih selama puluhan tahun.

Tragis!

Gais, coba beneran deh bayangin. Gimana kalau kalian dibuang jauh di negara yang sangat asing. Dimana kalian nggak punya apa-apa dan siapa-siapa di sana. Segalanya asing. Kalian juga nggak bisa mengubungi keluarga atau siapapun yang kalian kenal. Belum cukup sampai di situ, kalian harus menurunkan derajat, melakukan pekerjaan rendahan hanya untuk menyambung hidup, padahal sebenernya kalian adalah orang terpelajar.

Rasanya seperti dipenjara tanpa jeruji.

Sepi.

Cerita tentang orang-orang terbuang ini tertuang dalam Surat Dari Praha. Dibalut dalam kisah cinta yang unik dan musik-musik yang indah.

Oh iya, di film ini ada adegan Julie Estelle dan Tyo Pakusadewo nyanyi. Suaranya, sumpah, baguuussss! Awalnya saya kira ada penyanyi beneran yang mengisi suara mereka saat menyanyi (bahkan saya sempat mengira kalau yang mengisi suara nyanyian Tyo adalah Iwan Fals). Ternyata enggak, mereka bener-bener menyanyikannya sendiri. Nggak nyangka, suaranya Julie bagus banget :').

***

Ani, serius sekali kamu membacanya!

6 comments:

  1. wahhh jadi pingin nonton filmnya..

    ReplyDelete
  2. Pengen liat ni film,

    masalahnya kalau tau terus sekarang mau di apakan mbag yu? Pak e sing duwe embel2 "piye kabare, enak jaman ku to?" Kuwi wez nak lemah e.. anak e sak iki sing ongkang2 sikil e duwite kuatah kopah2. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai mb, sebelumnya maaf ya jangan tersinggung.
      Tapi kata-kata mbak itu bikin saya agak miris, ternyata memang manusia sekarang ini udah bener-bener nggak menganggap penting sejarah yah. Dan karena pernyataan mbak ini menurut saya sesuatu yang serius, jadi saya pengen menanggapi secara serius di sebuah postingan ya. Kalau cuma komen, takut terjadi salah paham :).

      Oh iya, nontonlah filmnya mb. Mungkin itu akan sedikit mengetuk hati mb. Mungkin mb memang bukan korban. Tapi difilm itu akan sedikiiittt tergambar bagaimana nasib korban Soeharto. Mereka dan keluarganya, yang sudah berkorban sedemikan banyak, tentu akan sangat tersinggung kalau mendengar perkataan: "masalahnya kalau tau terus sekarang mau diapakan?"

      Jangan tersinggung yah mb. Dipikirkan saja. Nanti kalau ada waktu aku akan buat postingan khusus mengenai mengapa kita sebaiknya tidak melupakan sejarah :)

      Delete
  3. Tapi anehnya ya mbak, org2 tua yg ak kenal slalu blg enak jaman pak harto krn apa2 murah ... Trmasuk eygku jg blg gtu . Tak coba suruh baca artikel pak karno yg sakit ga dkasi pngobatan layak jg ga ngaruh ... sedih ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya buat yang bukan korban langsung memang terasa enak ya. Tapi kan kita manusia, mahluk sosial, punya perasaan, punya empati terhadap sesama, jadi ya pasti merasa ikut sedih kalau ada kejahatan kemanusiaan, meskipun nggak secara langsung menimpa kita.
      Tapi memang nggak semua orang punya kadar kepedulian yang sama terhadap sesamanya :(

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...