Pernah nggak situ keseeelll banget sama orang yang suka komentar? Pokoknya sembarang dikomentarin. Situ pake baju tertutup dibilang "sok alim". Pakai baju terbuka dibilang "murahan". Pake baju biasa dibilang "tumben". Rasanya pengen lepas baju secepatnya terus lagi ke arah si tukang komen sambil jejelin baju kita ke mulutnya?
Nah, tukang komen itu biasanya kita katain (atau kalau saya boleh bilang: kita komentarin) dengan sebutan: Resek!
Saya sendiri tergolong orang yang resek. Tapi resek saya nggak tertuju pada orang tertentu, tapi pada semua orang. Nggak lawan, nggak kawan, bahkan kucing tetangga juga nggak luput dari keresekan saya. Iya, saya resek emang sih. Yah, mungkin tertuju pada orang tertentu pada waktu tertentu. Kaya beberapa waktu yang lalu saya resek sama orang-orang yang resek sama orang-orang yang niruin Vicky. Tapi biasanya nggak lama trend resek saya segera berganti.
Ngomong-ngomong soal komentar, siapa sih diantara situ yang nggak pernah komentar? Ha!! Berarti situ juga resek! Nggak kok, suka komentar nggak selalu artinya resek. Komentar atau berpendapat jelas banget nggak bisa kita hindari. Wong ada kok yang namanya kebebasan berpendapat. Kalaupun kebebasan berpendapat yang ada ini kemudian nggak bebas lagi karena dibatasi oleh moral etika etc etc, ya tetep aja, siapa sih yang bisa mencegah kita punya komentar? Wong kita punya otak kok.
Mungkin pembatasan-pembatasan itu bikin kita nggak bisa menyuarakan pendapat. Tapi tetep aja kan kita punya pendapat? Kita punya komentar. Nah, kalau kita nggak menyuarakan pendapat kita secara membabibuta (kaya yang suka saya lakukan), ya kita nggak akan dibilang resek (iya, sekali lagi saya resek).
Adakalanya saya merasa sumpek sekali, dan butuh menyuarakan apa yang ada di benak saya. Dikala-kala begitulah saya mendadak menjadi orang paling resek dan menyebalkan yang pantas dijauhi. Kalau saya diam, sebenernya ya nggak apa-apa dan dunia menjadi damai. Tapi karena saya bener-bener resek pada suatu waktu, saya jadinya nggak bisa diam.
Saya kasih tahu satu lagi ciri-ciri ketika resek saya menyerang: Nggak cukup kalau hanya menyuarakan untuk diri sendiri. Jadi memang nggak melegakan ketika saya ngomyang sendiri tanpa ada yang mendengarkan, atau menuliskan komentar saya di diary bergembok yang kuncinya saya buang di kawah merapi. Keresekan saya butuh pendengar.
Makanya kemudian saya punya blog. Sayangnya, dengan semakin famousnya saya dan semakin banyaknya pembaca #prek, semakin banyak aja batasan yang ada dalam menyalurkan keresekan saya.
Jadi ketika resek saya kumat, biasanya saya mengatakannya pada seorang teman saya.
Yang barusan saya resek-i adalah: "aku risih banget deh liat kata "anu" diganti dengan kata "anu". Semacam nggak berkelasgitulhooooo".
Teman saya yang saya ajak resek: "ya mbok ben tooooo"
Saya: "Heh! Saya ini lagi resek! Dengerin aja sih!"
Teman saya: "Okayyyyy..."
Dan kemudian saya lega. Dan saya kembali menjadi istri imut manis baik hati dan ceria seperti sedia kala, untuk sementara waktu.
Haha... Yang namanya hidup itu kaya kisah 'Antara Bapak-Anak dan Keledainya'. Pernah baca kan?? Pesan dari cerita tsb: Apapun yang kita lakukan, pasti akan ada orang yang menanggapi, berkomentar, sok menasehati, nyinyir, dsb. Mau kamu orang baik maupun jahat, apalagi udah kadung famous seperti dirimuh jeng... :p Intinya menjadi diri sendiri dan berlaku baik saja. Bodo orang mau bilang apa, kita gak ngerugiin orang kan? :)
ReplyDeleteHaduh, femes #kibasrambut. ahahahahaaa....
DeleteIya Miz, pernah denger cerita itu. Sumpah itu cerita beneeerrr banget. Mau gimana-gimana tetep dikomenin orang. Iya, sekarang aku juga mikirnya selama nggak ngerugiin orang deh ya :D