Translate

Saturday, September 14, 2013

Cukup Sudah Pembahasan Mengenai Bahasasisasi

Kalau kalian bisa sampai kepada blog yang nggak begitu tenar ini, berarti kalian adalah pengguna Internet kelas berat. Soalnya nggak mungkin kalau cuma sekilas pakai internet bisa nyempil ke blog galau semacam ini. Nah, kalau kalian adalah pengguna internet kelas berat, nggak mungkin kalau nggak tau yang namanya Vicky Prasetyo, eks tunangannya Zaskia Gothik.

Eniwe, jauh sebelum peristiwa ini pacar saya udah nge-fans aja sama Zaskia Gothik --".


Semalam di TL saya, muncul twit dari @PrincessChizty:
"Indonesian people are funny. Vicky-nya dihujat, diejek, dan di-bully. Eh bahasanya ditiru. Jadinya benci atau ngefans nih?"
(Tant, nyatut nama ya, Tant. Kalau nggak boleh ntar saya hapus deh nama panjenengan :D)

Saya membalas:
"Kalau saya sih nge-fans..."

Terlepas dari persoalan tipu-tipu dan ke-playboy-annya, menurut saya sosok Vicky ini menarik. Bukan, bukan karena wajahnya yang konon katanya mirip Brad Pitt. Tapi karena ke-pede-annya. Nggak cuma sekali ini seluruh jamaah twitteriah mendapatkan public enemy untuk dicaci, banyak kok kasus seperti itu. Ada yang nyeleneh dikit, langsung seluruh khayalak ramai-ramai membahas. Yang saya yakin nggak semuanya mengejek, tapi jadi terkesan mengejek. Termasuk saya.

Lagi-lagi, terlepas dari segala kasus yang menimpa pribadi Vicky, saya lumayan tertarik sama ke-pede-annya dalam berbicara. Nggak usah sok bijak-bijak ngece lah ya, jelas kita semua tahu kata "statitusisasi" dan "kosabahasisasi", serta peletakan kata-perkata dalam rangkaian kalimat yang diucapkan Vicky, secara struktur bahasa adalah salah. Saya nggak ngerti juga, mungkin dia lebih lancar berbahasa daerah atau berbahasa asing? Saya juga punya kok teman orang Indonesia setengah bule, yang bahasa sehari-hari di rumahnya adalah bahasa Inggris. Dia dulu suka agak-agak kagok gitu kalau ngobrol pakai bahasa Indonesia gaul. Sekarang sih dia udah fasih misuh-misuh pakai bahasa Jawa segala --".

Begitupun dengan saya. Bahasa yang sangat saya kuasai adalah bahasa Indonesia. Sebagai orang jawa, saya ngerti bahasa Jawa juga, tapi nggak mendalam. Saya bisa melakukan percakapan dengan bahasa jawa krama inggil, asal nggak terlalu panjang dan topiknya nggak terlalu berat. Terus bahasa asing yang saya ngerti juga cuma bahasa Inggris. Itupun ya sama kaya bahasa Jawa Krama Inggil, nggak fasih-fasih banget.

Untuk bahasa Inggris ini, karena saya nggak fasih-fasih banget, jadinya nggak pernah saya gunakan dalam percakapan. Apalagi saya ini tipe yang nggak suka dengan bahasa campur-campur ala Cincya Laura. Menurut saya, bahasa Inggris ya oke lah, saya oke-oke saja mendengar atau membaca perkataan atau artikel dalam bahasa Inggris. Tapi berbahasa Inggris lah dengan baik. Saya sering mendapati artis-artis jaman sekarang kalau diinterview suka menyelipkan beberapa kalimat berbahasa inggris, yang ya, sebenernya kurang pas dan terkesan dipaksakan. Yang saya herannya kok artis terkait nggak dibahas ramai-ramai di twitter kaya Vicky dan Jajang, padahal sama anehnya. Saya nggak suka sih, yang campur-campur begitu.

Saya sendiri hanya menggunakan bahasa Inggris hanya dalam bentuk tulisan, itupun untuk urusan pekerjaan bukan blogging-blogging alay semacam ini. Kalau untuk ngomong, sungguh saya nggak pede. Padahal katanya, berbahasa itu yang penting kebiasaan. Kalau nggak dilatih dan dibiasakan ya nggak mungkin bisa. Tapi sungguh saya nggak pede.

Orang-orang seperti Vicky ini saya kagumi ke-pede-annya. Saya yakin kok, pada akhirnya Vicky akan belajar membenahi vocabulary dan grammar-nya pelan-pelan, belajar dari kritik yang dia dapatkan di media sosial tentunya (semoga). Tapi kan yang penting, walau nggak lancar bahasanya, dia berani mempraktekan dulu kan? Karena sekali lagi, bahasa itu adalah soal latihan dan kebiasaan.

Saking seringnya saya melihat dan mendengar kata "kontroversi hati", "konspirasi kemakmuran", "statitusisasi", dan "kebagusan reputasi" akhir-akhir ini, tanpa sadar kata-kata itu kaya nancep aja dipikiran saya. Jadi inget Syahrini dengan "cetar membahana"-nya juga nggak sih? Kata-kata itu juga sempet seolah nancep di kepala. Bahkan menurut saya, "cetar membahana" itu digunakan dengan lebih berlebihan dibandingkan dengan "faktualisasi". Saya aja sampai eneg ngeliat setiap blog walking atau twitteran pasti nemu kata itu. Jangka waktunya lama pula.

Ketika saya menggunakan kata-kata "kontroversi hati", sebenernya saya sudah nggak memikirkan Vicky sebagai penggagas kata tersebut. Apalagi mikirin kasus-kasus dan berbagai kontroversi hati yang beneran menimpa dia! Sungguh. Ya cuma lucu aja. Kata-kata tersebut biasanya jarang ditemui di kehidupan sehari-hari, dan mendadak tersebar dimana-mana. Ketika saya menggunakan kata "labil ekonomi", bukan maksud saya melakukan bully atau ejekan terhadap Vicky. Bahkan saya seringnya nggak mikirin Vicky ketika mengucapkannya.

Kalau penggunaan kata-kata tersebut dianggap alay dan norak, saya sih bodo aja. Alay dan norak itu kan masalah selera, dan nggak semua orang punya selera yang sama. Tapi kalau penggunaan kata-kata tersebut dianggap sebagai ekspresi bullying, ya sudah, saya mengaku salah, meminta maaf, dan saya akan berhenti pakai.

Dan artikel ini adalah terakhir kali saya menuliskan mengenai bahasasisasi.

6 comments:

  1. aku puyeng ama bahasa-bahasa gahooll sekarang, hadeh

    ReplyDelete
  2. Biasanya yang suka niru kata2, gaya bahasa..itu pikirannya masih abg,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya pas dong sama muka eike yang juga masih ABG

      Delete
  3. OOT dikit ya, jeng XD.

    klo aku malah kasian sama cinta laura, karena sering dibuli karena cara ngomongnya. Dia bahasa nyampur2 gitu karena emang susah pake bahasa indo, secara 'bahasa ibu' nya emang inggris. Mau full english pun kondisi gak memungkinkan klo di sini. Full indo pun ya gak mampu.

    Soalnya aku punya teman SMA, namanya aja 'Indah', tapi bahsa indonya belepetan, beuh! Nasibnya mirip2 si cinta, dari lahir kenalnya english, karena ikut bapaknya pegawai dubes di australi, sekali2nya pindah ke jerman, tapi tetep skolah pake english lagi. Ngomong bahasa indo sesekali aja (salah orangtuanya juga jarang komunikasi sama bahasa negeri sendiri). Pas 2 SMA, dia datang ke sekolahku, dibuli juga lah, karena diangggapnya sok english. Makin dibuli karena mukanya (maaf sara dikit), indonesia banget, karena turunan medan-lombok plus berkulit sawo matang. Sejujurnya aku juga pernah sebel sama dia, tapi setelah aku pahami, dia sulit berbahasa indo karena dia memang seorang native english dan pasti lidahnya kelu untuk berbahasa lainnya.

    Makanya, pas ada si cinta laura, aku dan teman2 yang pernah memahami si Indah, yakin itu bukan kesengajaan, jadi gak ikut2an sebel... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini nggak OOT kok, Jeung. Masih soal bahasasisasi gitu lho.

      Iya, kadang orang jadi dipandang aneh karena kondisinya. Nggak usah deh orang yang lebih lancar bahasa Bule. Misalkan aja orang dari jawa tengah dengan bahasa sehari-harinya bahasa jawa alus yang medok abis, tiba2 pindah ke Jakarta (yang juga Jawa sih sebenernya, makanya aku paling nggak suka kalau ada orang Jakarta nanyain aku "dari Jawa ya mbak? Lhah, emang situ lagi berdiri di pulau apa?? #okeiniOOT). Bakalan di pandang aneh karena logat medoknya. Pun ketika orang Jakarta tetiba pindah ke area Jawa tengah gitu, juga logatnya kaan terasa aneh.

      Bahkan bahasa Jawa cilacapan didengerin sama orang Jogja juga berasa aneh. Ya gitu deh.

      Aku punya temen orang Cilacap, logatnya ngapak abis. Sama temen2ku yang lain (termasuk aku) sering dibercandain dan bahasanya ditiru2. Maksud kami bukan mengejek, suer! Dan anaknya juga nyante. Malah bangga dan ngajarin kami yang tiru2 ini biar makin sempurna ngapaknya. Sekarang aku & temen2 mahir berbahasa jawa ngapak ala cilacap. Bahahahaaakkk.

      Ya gitu lah. Kadang reaksi menirukan atau menganggap lucu itu dikira mem-bully. Padahal nggak boleh lho sembarangan menuduh orang melakukan "bully". Bully itu tuduhan serius :D

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...