Ada hal yang berbeda ketika membawa calon pasangan hidup kita pulang ke rumah, masuk ke kehidupan kita.
Sejak mulai kuliah s1, tepatnya tahun 2003, saya merantau ke Jogja, misah sama orang tua saya. Ngekos sendirian. Walau Solo-Jogja juga cuma satu setengah jam perjalanan, tapi tetep aja berbeda rasanya ketika tinggal sendiri tanpa bapak dan ibu. Termasuk bapak dan ibu saya tentu saja nggak bisa lagi mengenal dengan lebih dalam semua teman-teman atau orang yang dekat dengan saya.
Dulu waktu saya masih tinggal di Solo, hampir semua teman pernah bertandang ke rumah orang tua saya. Soalnya rumah saya memang tergolong yang enak buat nongkrong. Jadi bapak ibu saya kenal dengan hampir semua teman-teman saya. Beberapa kali saya punya pacar, tapi ya karena saya masih kecil waktu itu, bapak ibu memperlakukan pacar-pacar saya seperti layaknya teman biasa aja.
Sebelum dengan calon suami saya yang sekarang, sayapun beberapa kali punya pacar. Dua yang terakhir sebelum calon suami saya, sudah saya ajak pulang ke Solo untuk berkenalan dengan bapak dan ibu saya. Tapi ya cuma mampir sekilas, nggak berkenalan secara mendalam. Soalnya mampir ke rumah pun cuma sejam-dua jam.
Dengan calon suami saya yang sekarang pun, bapak ibu saya sudah kenal lamaaaa sekali. Soalnya saya memang sudah temenan 10 tahun sama calon suami saya. Dan dia adalah sahabat saya yang paling dekat selama di jogja, sehingga beberapa kali ikut saya pulang ke Solo, bahkan pernah nginep juga di rumah Solo. Tapi ya bapak dan ibu saya tahunya itu teman.
Ketika tiga tahun yang lalu kami memutuskan untuk pacaran, saya nggak langsung kabar-kabar ke bapak ibu. Soalnya jujur ketika itu saya juga belum tahu arah dan tujuan hubungan kami. Baru pada bulan Juli tahun lalu, saya membawa dia ke rumah lagi, kali itu sebagai pacar.
Tentunya rasanya berbeda ketika mengajak dia pulang ke rumah sebagai laki-laki pilihan saya.
Saya dan dia tentunya selama 10 tahun sudah sangat saling mengenal, dan boleh dibilang nggak perlu lagi berproses agar bisa nyaman satu sama lain. Masa itu sudah lewat lah. Tapi dia dan keluarga saya tentunya harus berproses agar saling merasa nyaman. Selama masa pertunangan kami, dia jadi sering bertandang ke rumah Solo, mengakrabkan diri tidak hanya dengan bapak ibu saya, tapi juga dengan keluarga besar dan segala aspek kehidupan masa kecil saya.
Ada rasa yang berbeda ketika mengajak dia melihat kamar masa kecil saya,
ketika mengajak dia menyusuri jalan-jalan di desa saya,
memperlihatkan bekas pohon talok yang dulu sering saya panjat,
menunjukan bangunan SMA saya,
rumah mantan guru SD saya,
makan soto langganan bapak saya.
Kebetulan bapak dan ibu saya dua-duanya bekerja. Jadi waktu kecil, saya harus dititipkan. Orang tua saya memilih menggaji secara bergantian tetangga sekitar untuk menemani saya selama mereka bekerja, dibandingkan membayar Nani yang nggak dikenal. Jadi, saya dan ibu-ibu tetangga sekitar punya semacam hubungan yang sangat dekat. Kalau saya pulang, dan mampir ke salah satu rumah mereka, pasti saya diciumi dan dipeluk, "mbak Arum sudah besar sekarang." Nggak jarang saya diinterogasi, "calonnya orang mana? Kerja dimana? Baik nggak sama mbak Arum?" Dan pertanyaan-pertanyaan lain, yang apabila diucapkan oleh orang-orang lain akan membuat saya marah, tapi ketika mereka yang mengucapkan saya hanya merasa hangat.
Ada rasa yang berbeda ketika mengenalkan dia kepada mak Tik, mak Tri, mak Yem, mak Roh, mbak Parto, lek Min..
Walau keluarga dari Bapak saya Katolik semua, tapi ketika lebaran, ada adat untuk berkumpul di rumah almarhumah nenek saya. Bapak-ibu saya sekeluarga, bude-pakde-om-tante sekeluarga yang jumlahnya besar. Kami punya tradisi untuk nyekar dan bersilaturahmi kepada tetangga-tetangga almarhum kakek dan nenek.
Ada rasa yang berbeda ketika melihatnya berbincang akrab dengan pakde saya,
ikut bersih-bersih rumah bersama saudara-saudara laki-laki saya,
mencium pipi bude saya,
dan bercanda-canda dengan sepupu-sepupu saya.
Saya dan dia punya prinsip yang sama soal pertemanan. Selama mereka nggak merugikan atau membawa dampak buruk, sebisa mungkin kita selalu menjaga silaturahmi dan hubungan baik. Demikian juga dengan mantan-mantan kami. Hampir semua punya hubungan baik dengan kami berdua, sebagai teman.
Ada seorang mantan saya yang merupakan teman masa kecil saya. Saya dan mantan saya tersebut sudah dekat semenjak balita. Jadi bahkan ketika putuspun, saya masih semacam mempunyai ikatan kuat dengan mantan saya tersebut. Masih dekat, masih main bareng, dan saling cerita. Bahkan sampai saat ini. Ketika terakhir kali dia pulang, saya mengajak dia ke rumah mantan saya itu.
Ada rasa yang berbeda ketika pertemuan itu semacam menegaskan: "ini lho teman masa kecil saya yang saya sayangi, yang sampai kinipun saya masih selalu mencari dia pada saat hidup menyesakkan."
Ada rasa yang berbeda ketika melihat mereka berdua berjabat tangan dan saling melempar senyum hangat,
ketika yang satu mengucap selamat dan yang satu berterima kasih.
Ada rasa yang berbeda ketika saya berbaring dengan mata nyalang di tempat tidur masa kecil saya malam ini,
dan menyadari kalau akhir bulan ini saya adalah Ny. Ig. Dani Ardianto :').
Jujur, waktu baca postingan yang ini kayak baca tulisannya n.h dini. Apa adanya dan mengena di hati. Hmm
ReplyDeleteYa ampun masa disamain sama NH Dini. Aku mah cuma upil :')
Delete