Translate

Wednesday, July 31, 2013

Unggah-ungguh

Terjemahan bebas ala saya sih unggah-ungguh itu sopan-santun atau etiket. Unggah-ungguh ini dari bahasa Jawa. Biasanya kalau orang Jawa kan super sopan gitu. Kalau sama orang tua harus pakai bahasa khusus yang namanya Kromo Inggil, yang lebih sopan. Terus juga unggah-ungguhnya orang Jawa, kalau ada orang tua lagi duduk dan kita lewat di depannya, harus membungkuk dan ngomong, "amit, njih".

Terus kalau sama orang yang lebih tua, juga nggak punya unggah-ungguh namanya kalau manggil langsung sebut nama. Harus pakai embel-embel mbak, mas, paklik, bulik, bu, pak, pakde, bude, mbah, dan lain-lain.

Unggah-ungguh masing-masing daerah tentunya berbeda. Misalnya kalau di Jawa itu, kalau disuguh makanan, kita habiskan sampai tandas, itu nggak sopan namanya. Lain halnya dengan di daerah lain (saya lupa namanya), kalau makanan yang disuguhkan nggak dihabiskan, namanya nggak menghargai. Kalau soal makanan, saya sendiri (ini mewakili pribadi saya, bukan saya sebagai orang Jawa), akan sangat senang kalau ada yang menghabiskan makanan yang saya suguhkan, apalagi kalau saya masak sendiri. Bangga gitu lho rasanya.

Jangankan per-daerah, unggah-ungguh keluarga satu dengan keluarga lainnya pun bisa berbeda-beda lho. Meski sama-sama keluarga Jawa, belum tentu unggah-ungguhnya sama. 

Persoalan unggah-ungguh ini sering susah bagi saya :D. Eh sebelumnya, saya ini orang Jawa lho. Jawa tulen banget totok malah. Maksudnya darah keluarga saya itu jawir sekale. Tapi kalau dipikir-pikir lagi yang saya warisi cuma darah aja. Unggah-ungguh enggak.

Banyak hal sih yang ternyata sebagai orang Jawa sudah saya lupakan. Karena pergaulan mungkin ya? Eh..ya bukan maksud saya menyalahkan teman-teman sepergaulan saya atas kelakuan minus saya. Cuma, karena kebiasaan saya sehari-hari yang rasanya semakin menjauh dari etiket atau unggah-ungguh tersebut, karena orang-orang di sekitar saya yang setiap harinya berhubungan dengan saya pun semacam yang kurang begitu memperhatikan unggah-ungguh secara detil. Yang praktis aja gitu lho. Pokmen lancar cespleng ra mang munduk-munduk.

Tapi itu nggak bagus juga sih. Apalagi saat ini saya dalam proses mau masuk ke keluarga baru, yakni keluarganya calon suami saya, yang juga punya unggah-ungguh yang tinggi.

Beberapa hal yang tadinya kacau dan sekarang sedang saya coba perbaiki antara lain:

  • Ucapan Terima Kasih

    Saya seriiing biyanget kelupaan soal bilang, "terima kasih". Padahal itu bukan suatu hal yang berat dan bikin ribet. Hanya saja masalah kebiasaan sih ya.

    Untuk hal-hal kecil, eh...ya bukan kecil sih, tapi hal-hal yang terlalu biasa yang ada di rutinitas harian, biasanya saya cenderung abai bilang "terima kasih". Misal minta tolong ambilin anu. Setelah diambilin ya sudah senyum aja. Atau di tempat parkir, setelah pak Parkir bantuin ngeluarin motor/mobil, saya juga biasanya abai bilang "terima kasih".

    Kalau biasanya antara saya dan teman-teman di keseharian saya sih, hal seperti itu memang cenderung diabaikan. Ya tolong-menolong aja secara wajar. Kalau ada yang berbuat baik, ya akan dibalas dengan berbuat baik juga. Nggak ada kata-kata atau ucapan apalah yang berbunga-bunga.

    Tapi repot ketika saya memasuki lingkungan baru. Bisa-bisa saya dicap nggak punya unggah-ungguh itu tadi. Makanya sekarang saya membiasakan bilang terimakasih ke siapapun yang menolong saya sekecil apapun, termasuk pak Parkir.

    Dan setelah terbiasa, nggak susah sih. Malah menyenangkan rasanya bilang terima kasih ke mereka yang biasanya nggak mendapat ucapan terima kasih untuk kerja mereka.

  • Minta Tolong Berkali-kali

    Ini nih, susah. Tapi masih bisa lah dilakukan. Saya ini suka malas untuk mengulang-ulang menawarkan bantuan. Misalnya nih:

    Saya: "Anumu abis ya? Nih pakai punyaku aja."
    Si Anu: "Eh nggak usah. Nggak papa."
    Saya: "Oke." Ninggalin si Anu yang kerepotan tapi nggak mau dibantu. Lha katanya nggak papa?

    Ya udah saya tinggal. Males juga kan kalau harus: "Udaaahh nggak papa. nih nih.." nyorongin anu ke muka si Anu.

    Tapi yang begitu tentu saja nggak bisa dilakukan kalau udah berhubungan dengan orang tua, terutama keluarga mas Pacar. Bayangin ya kalau saya lagi makan di rumah mas Pacar.

    Saya: "Saya bantu beresin piringnya ya, Bulik"
    Si Bulik: "Udah, nggak usah, mbak. Nggak papa. Nggak usah repot-repot."

    Bayangkan kalau saya seperti ini: "Oke" Lalu duduk diam kaya nyonya besar mengawasi si Bulik beres-beres meja makan. Bakalan dipecat jadi calon keluarga lah, saya.

    Akan lebih baiknya kalau saya: "Nggak repot kok, Buliiikk. Nggak papa. Sungguh. Udah biasa mah saya dirumah. Beres-beres, cuci piring, benerin genteng, macul, ngarit, mandiin kebo.."

    Tapi ya untuk hal ini, cuma bisa saya ubah kalau saya sedang menghadapi orang tua. Kalau sama temen saya masih susah kalau disuruh berkali-kali menawarkan bantuan. Ya mbok kalau butuh nggak usah jaim kenapa? :D

  • Panggilan-panggilan etis

    Kalau panggilan bude, bu, pak, pakde sih masih oke. Saya masih bisa. Tapi kalau yang mbak, mas, om, tante, saya kadang susah banget membiasakan. Keluarga besar saya udah agak rancu soal panggilan begituan. Saya punya kakak yang masih SMA, ceritanya bisa jadi kakak saya karena dia anaknya pakde saya. Ya masa mau dipanggil embak? Aneh aja kan?

    Terus di keluarga pacar saya, entah bagaimana, istri-istri om-nya mas pacar itu dipanggil "mbak". Dan mereka malah risih gitu dipanggil "tante". Keliatan tuwir katanya. Ya sudah toh saya manut aja ngikut-ngikut.

    Jadi semacam udah kabur gitu mana yang beneran mbak saya, mana yang tante saya, mana yang adek saya. Ya untuk mempermudah kehidupan pada akhirnya untuk yang sepantaran sepupu-sepupu, mau lebih tua jauh sekalipun, biasanya dipanggil nama aja. Kalau untuk yang agak lebih tua, misal istri si om, atau yang statusnya sepupu tapi usianya terpaut terlalu jauh (ada sepupu saya yang umurnya 40-an) barulah dipanggil mbak atau mas.

    Di lingkungan pergaulan dan kerja saya juga, rata-rata pada minta dipanggil nama aja. Bahkan atasan langsung saya juga, minta dipanggil nama aja. Kayaknya memang ya unggah-ungguhnya begitu di sini, sehingga menjadi kebiasaan.

    Tadinya saya terbiasa memanggil "Mbak" dan "Mas" ke orang-orang yang belum saya kenal dekat, baik yang lebih tua maupun sepantaran. Lama-lama kebiasaan itu terkikis menghilang lantaran kebiasaan baru di lingkungan yang sekarang. Apalagi di dunia maya begini, yang nggak jelas si Ina umurnya berapa, si Anu udah setua apa.

    Malah beberapa kali saya menemui orang tersinggung karena saya panggil "mbak". Iya, "mbak". Kalau "mas" malah saya belum pernah tuh nemuin yang tersinggung :D. Mungkin cewek memang cenderung lebih sensi soal umur ya? Terus entah gimana, saya akhirnya merasa lebih nyaman dan nggak ada batasan aja kalau memanggil teman dengan langsung nama. Kalau pakai "mbak" gitu malah berasa berjarak, dan biasanya susah nyantai deh sampai besok-besoknya juga :D.

    Tapi ya hal itu ternyata nggak bisa diterapkan dimana-mana. Ada juga orang-orang yang masih menjujung tinggi yang namanya unggah-ungguh. Yang berasa nggak sopan kalau manggil yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya dengan langsung nama. Ya iya juga sih, dibeberapa situasi. Ya misal, kalau atasan saya nggak minta dipanggil nama langsung, ya saya juga sesuai unggah-ungguh tetep manggil "mbak" dong. Secara dia atasan saya plus lebih tua jauh pula.

    Makanya saya membiasakan diri untuk menggunakan sapaan yang sopan. Dimulai dari sapaan "mbak" untuk readers dan para komentator di blog sebelah dulu ^^.

  • Minta maaf berkali-kali

    Ini juga, susah. Dan memang sayanya juga males sih kalau disuruh mengubah. Setiap orang pernah salah. Saya pernah salah sama orang lain. Orang lain pernah salah sama saya. Ada yang saya salah tapi saya malas menyelesaikan, ya udah nggantung aja gitu lalu terlupakan tapi juga nggak damai. Ada yang orang lain salah tapi juga nggak minta maaf, ya sudah nggantung juga.

    Tapi ada saat orang lain salah, minta maaf dan membicarakan solusinya, walau hati saya masih gondok setengah mati, kalau si yang salah sudah beritikat baik meminta maaf dan mencari solusi, ya sudah toh? Saya bisa apa selain move on?

    Nah, tapi nggak semua orang kaya begitu. Ada tuh kasus saya salah, saya minta maaf, menanyakan solusi, sampai dengan menawarkan solusi ala saya, tetep aja dimusuhin dan dibahas berhari-hari. Liat-liat persoalannya lah ya, apalagi kalau persoalan sepele. Saya sih muales banget kalau harus minta-minta maaf berkali-kali. Biasanya ya cuma saya abaikan saja si orang marah-marah yang nggak bisa diapa-apakan itu.

    Kalaupun situasi sudah membaik, biasanya ya saya kadung ilfil juga sama orangnya. Males juga mau deket-deketan lagi. Ya saya biasanya sebatas menjaga hubungan baik, tapi emoh total deh deket-deket lagi. Ngeri aja kalau kejadian kaya begitu lagi, plus ya ilfil itu tadi *meringis*.

    Padahal secara unggah-ungguh tadi itu, biasanya si yang merasa disalahi akan jaim dulu sok-sokan bilang "nggak segampang itu". Harapannya ya si salah terus-terusan minta maap sampai..rrr...sampai entah kapan deh.

    Unggah-ungguhnya begitu. Tapi kalau yang ini harga diri saya nggak mengijinkan.

Eh...masih ada lagi nggak ya? Kayaknya sih masih. Banyak malah. Tapi ya gitu deh. Persoalan unggah-ungguh itu kadang bikin saya galau. Tapi saya juga belajar pelan-pelan kok untuk lebih menjadi manusia yang berunggah-ungguh :D

4 comments:

  1. Unggah ungguh itu subjektif di masing-masing kelompok kali ya.

    Seperti memanggilmu Bra/Jeng/Yeng/Ses itu aku kira lebih "berunggah-ungguh" dibanding Mbak/Ndoro/Mbok/dll dll dll..

    :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apaaa??
      Nggak nggak, nggak bisa!
      Panggil saya NYONYAH!!!

      Delete
  2. waktu dibandung dulu pertama kerja di apotek bandung saya manggil salah satu pegawai administrasi dengan sebutan mbak, eh langsung diketawain beberapa karyawan disitu, "kamu orang jawa ya?kok manggilnya mbak?"
    lah ditempat asal saya (banjarmasin,kal-sel) dibawah umur, seumuran, diatas umur kami manggil seorang perempuan itu dengan kata mbak, dan pria dengan kata mas kok
    hahaha.. ternyata beda daerah beda juga sebutannya, padahal artinya sama aja ah.. :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, di beberapa daerah, panggilan Mbak memang aneh sih. Malah dibeberapa orang, panggilan "mbak" itu dinilai merendahkan, soalnya yang biasanya dipanggil mbak itu pembantu. Ini di beberapa orang lho ya. Hehe..

      Ya kaya kata Lady diatas, unggah-ungguh itu subjektif di masing2 kelompok :D

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...